REPUBLIKA.CO.ID, *Gus Ubaidillah Amin Moch
Momentum Ramadhan dengan berdiam diri di rumah digunakan untuk hal-hal yang positif, jangan sampai menjadi momen untuk mencela keadaan, terlebih mencela kebijakan pemerintah di medsos. Sebab syariat menekankan tata krama yang baik dalam mengkritik pemerintah.
Salah satu tata kramanya adalah dengan tidak mencela atau mengkritik pemerintah dengan penyampaian yang disebarkan di khalayak umum (‘alaniyah). Hal demikian seperti disampaikan Rasulullah SAW dalam salah satu haditsnya:
مَنْ كَانَتْ عِنْدَهُ نَصِيحَةٌ لِذِى سُلْطَانٍ فَلاَ يُكَلِّمْهُ بِهَا عَلاَنِيَةً
“Barang siapa yang hendak menasehati pemerintah, maka jangan disampaikan secara terbuka” (HR Hakim)
Mengkritik pemerintah melalui media sosial tentu tergolong larangan mengkritik secara terbuka dalam hadis di atas, sebab dapat diketahui masyarakat secara luas, hingga berakibat runtuhnya kewibawaan pemerintah, dan hal demikian jelas merupakan larangan dalam Agama Islam.
Kritik yang baik adalah dengan disampaikan secara tertutup dan langsung tertuju pada kebijakan pemerintah, tanpa perlu mencela dan mencaci orang yang menerapkan kebijakan. Dengan begitu kritik dan masukan dapat dinilai secara maksimal oleh pemerintah.
Kebijakan pemerintah sudah tentu berdasarkan prinsip kemaslahatan masyarakat. Misalnya kebijakan pemerintah tentang larangan mudik di tengan pandemi Covid-19 pada Ramadhan tahun ini. Kebijakan demikian tentunya sudah berdasarkan pertimbangan dan penilaian yang sangat akurat dan terukur.
Mudik di tengah tersebarnya wabah selain merupakan tindakan yang membahayakan kesehatan masyarakat juga merupakan hal yang tidak etis dilakukan.
Imam As-sya’roni dalam kitabnya, Lathaif al-Minan menjelaskan pendapat gurunya, Syekh ‘Ali al-Khawwas dalam menerangkan orang yang tetap bepergian pada saat terjadinya wabah:
من ضحك أو جامع زوجته أو لبس ثوبا مبخرا أو ذهب إلى موضع التنزهات أيام نزول البلاء على المسلمين, فهو والبهائم سواء
“Orang yang tertawa, bersetubuh dengan istrinya, mengenakan baju yang dipenuhi wewangian, atau berkunjung ke tempat hiburan pada saat turunnya wabah pada umat Islam, maka dia dan binatang tidak ada bedanya” (Imam as-Sya’roni, Lathaif al-Minan, Hal. 350)
Bersilaturrahmi pada keluarga di kampung sudah cukup dilakukan dengan cara video call atau dengan mengirimkan pesan dan pemberian hadiah kepada mereka, tanpa perlu menemui secara langsung.
Kebijakan pemerintah tentang pelarangan mudik sudah selayaknya didukung dengan kesadaran penuh, tanpa perlu mencela dan mengkritik yang tidak ada manfaatnya.
Sudah selayaknya kita apresiasi dan kita hargai keputusan pemerintah dalam rangka kewajiban taat kepada imam yang merupakan ajaran dalam syariat Islam. Patutlah kita mencontoh adab Imam as-Sya’roni dalam menghormati kebijakan pemerintah dengan senantiasa husnudzan bahwa kebijakan yang dipilih pemerintah adalah kebijakan yang paling baik dan ideal daripada pandangan pribadi dirinya atau rakyat secara umum. Berikut penjelasan beliau:
ومما من الله تبارك وتعالى به علي أدبي مع قضاة هذا الزمان كبارا وصغارا ولا أقول بيطلان أحكامهم في العقود والوثائق كما يقع فيه بعضهم بل أرى عقودهم وأنكحتهم صحيحة أدبا مع أئمة الدين القائلين بصحتها وأدبا مع السلطان الذي ولى أولئك الحكام ولعلمي بأنه أتم نظرا مني ومن أمثالي بل ربما كان أتم نظرا من جميع رعيته وصاحب هذا المشهد لا ينكر على امامه في تولية احد او عزله ولا يذمه أبدا من ورائه كما يفعله بعضهم وقد قال العلماء رضي الله تعالى عنهم لو ولى السلطان قاضيا فاسقا نفذ قضاؤه للضرورة
“Sebagian anugerah yang Allah berikan kepadaku adalah tata kramaku kepada hakim pada zaman ini, baik yang sudah tua ataupun masih muda. Aku tidak mengatakan putusan mereka dalam akad dan perjanjian adalah putusan yang batal, seperti yang dilakukan sebagian orang. Bahkan aku berpandangan bahwa akad dan pernikahan yang mereka lakukan sah, dengan bertujuan menjaga adab terhadap para imam yang berpandangan tentang keabsahannya, dan menjaga adab pada pemerintah yang telah mengangkat hakim tersebut, dan juga karena aku tahu bahwa pemerintah lebih sempurna dalam menentukan kebijakan dibanding aku dan orang-orang yang selevel denganku, bahkan kebijakan pemerintah bisa jadi lebih sempurna dibanding semua (pandangan) rakyat.
Pemilik kesaksian ini (Imam asy-Sya’roni) tidak akan mengkritik terhadap pemerintah atas pengangkatan atau pemecatan seseorang, dan aku selamanya tidak akan mencela pemerintah di balik hadapan mereka, seperti yang dilakukan sebagian orang. Para ulama’ sungguh telah berkata: “Jika Sultan mengangkat hakim yang fasik, maka keputusan hukumnya tetap berlaku (sah) karena darurat” (Imam as-Sya’roni, Lathaif al-Minan, Hal. 275). Wallahua'lam bishawab.
*Stafsus Menteri Agama RI