Sabtu 02 May 2020 04:32 WIB
Islam

Islam di Madura dan Perlawanan Trunojoyo Terhadap Belanda

Perlawanan Trunojoyo

Penikaman Trunojoyo oleh Amangkurat III.
Foto: wikipedia
Penikaman Trunojoyo oleh Amangkurat III.

REPUBLIKA.CO.ID, --  Oleh — Prof DR Buya Hamka, Ulama dan Penulis Tafsir Al Azhar

Sultan Agung yang benar-benar "Agung" itu mangkat pada tahun 1654. Dia seorang pahlawan yang besar sekali minatnya menyatukan tanah Jawa, supaya satu kekuatan menghadapi Kompeni. Baginda pernah mengatur tentara mengepung Jakarta, walaupun tak berhasil, Yan Pieterzon Coen

yang terkenal sebagai lambang penjajahan Belanda "nomor 1", adalah duri beracun dalam mata sultan. Kompeni telah berhasil memutuskan hubungan Jawa dengan Indonesia Timur.

Yang berhak menjadi gantinya ialah Pangeran Ario Prabu Adi Mataram. Sebab ibunya ialah puteri dari istana Cirebon. Baginda bergelar Amangkurat I (Amangku=memangku. Rat= bumi). Jadi yang memangku bumi ini!

Jika Almarhum Sultan Agung berusaha "membuat" satu filsafat kenegaraan menggabungkan Tauhid Islam dengan segala macam khurafat Hindu, sehingga itu ternyata dalam gelarnya sebagai "Sultan" dan sebagai "Prabu", namun pada puteranya adalah satu sikap yang lebih tegas terhadap Islam.

Infiltrasi Islam "Ahlussunnah wal Jama'ah" tetap mengalir juga dari Pesisir. Dari Giri, Kudus dan Demak! Islam yang demikian tidak mau mengakui bahwa raja adalah wakil mutlak Tuhan buat memerintah Alam.

Mereka lebih tertarik akan cara pemerintahan Iskandar Muda Mahkota Alam di Aceh. Yakni kaum agama diberi hak luas menyiarkan Islam dan menuntunkannya. Raja jangan hanya semata-mata menenggang hati golongan yang belum Islam, sehingga kemajuan Islam terhambat. Apalah artinya tanah Jawa menerima Islam sebagai agama, padahal hukum agama tidak menjadi kenyataan. Bahkan upacara-upacara. kehinduan masih berlaku.

Dan lagi kaum Ulama itu, didesak oleh rasa Tauhid yang bergelora di dadanya, bersikap kadang- kadang seperti orang "kurang ajar". Mereka datang ke istana dengan "pakaian Arab" memakai serban, jubah, tasbih di tangan dan tidak mau menyembah sujud kepada "Ingkang Sinuhun"(Yang disembah!).

Berbeda Sultan Agung dengan Amangkurat! Karena baginda Sultan Agung masih dapat membawakan hidup dalam kalangan kaum agama.

Tetapi Amangkurat I benci melihat Kiyahi- kiyahi itu. Sombong, tidak mengenal hormat dan kadang-kadang berani bercakap terus-terang di hadapan raja! Kadang-kadang pula tidak mempedulikan tata-bahasa percakapan istana yang sampai 5 tingkatnya itu. Kalau ditanya mengapa demikian, mereka menjawab "sedangkan kepada Allah, kami hanya mengucapkan engkau saja (anta), betapa kepada Raja kami akan mengucapkan lebih daripada itu?"

Apakah maunya baginda?

Maunya baginda ialah supaya ajaran Islam yang tegas itu jangan diajarkan kepada rakyat! Ulama jangan menghadapi masyarakat dengan langsung. Yang bertanggung jawab menghadapi rakyat cilik hanyalah lurah, lurah kepada carik, carik atau camat dan camat kepada Wedana atau "Demang", kepada Patih, Bupati, Adipati, baru kepada "Kanjeng Gusti Ingkang Sinuhun".

Dan Ulama yang sah, hanyalah yang resmi dalam pemerintahan. Kerjanya mengurus mesjid, tinggal sekeliling Kauman, mencukupkan jama'ah 40 orang. Kedudukan mereka ialah sebagai "Jogosworo”.

Kalau ajaran Ulama sampai kepada rakyat kecil, kacaulah pemerintahan dan hilang lenyaplah kepatuhan kepada yang di atas.

Akhimya sampailah pertentangan Ulama dalam Kerajaan Mataram dengan Susuhunan meningkat demikian tinggi, sehingga Susuhunan memerintahkan menangkapi seluruh Kiyahi dan Santrinya dalam seluruh kerajaan, yang tidak kurang dari 7.000 (tujuh ribu) orang banyaknya. Menyuruh mereka naik. . . tiang gantungan!

Yang tinggal hidup hanyalah Ulama yang diakui oleh Kraton!
Yang sempat lari, terus lari ke daerah lain!
Adapun Kompeni Belanda, setelah Sultan Agung yang gagah perkasa mangkat, mulailah

mengatur siasatnya lebih ketat dari yang sudah-sudah. Kompeni sudah menguasai Bantam, Ambon, Ternate dan Makassar. Padahal Hitu (Maluku) telah sejak zaman Majapahit adalah lapangan perniagaan orang Jawa yang membawa kemakmuran.

Sejarah - 23 Juni 1596, Abdul Mufakir dilantik menjadi... | Facebook

Sejak daerah itu dikuasai Kompeni, Jawa bertambah miskin. Kompeni menyodorkan perjanjian bahwasanya Kompeni mengakui keagungan Mataram. Kompeni mengirimkan delegasi ke Mataram setiap tahun, alamat persahabatan. Tetapi jika orang Mataram hendak keluar ke daerah-daerah yang dikuasai Kompeni hendaklah membawa surat "izin" daripadanya.

Dari sebelah Pesisir timbullah rasa tidak puas. Kaum Ulama memandang Amangkurat musuh Islam. Perasaan ini dipelopori oleh Giri.

Rasa Islam lebih mendalam di Madura! Di Madura pun berkembanglah rasa dendam terhadap Mataram. Apatah lagi Cakraningrat II yang menerima pusaka jabatan adipati tertinggi bagi Madura, lebih lekat hatinya ke Mataram daripada ke Madura sendiri. Jodoh yang dipilih adalah puteri Mataram, bukan puteri Madura. Menjadi Raja di Madura, tetapi sangat jarang datang ke Madura. Dan jika pulang membawa adat-istiadat istana yang sangat berat, tidak sesuai dengan jiwa orang Madura! Di Madura pun tumbuh rasa tidak puas.

Di Makassar telah tumbuh pula perasaan tidak puas itu. Perjanjian Bongaya (1667) sangat merugikan Makassar. Perahu-perahu Makassar hanya boleh berlayar bila telah dapat izin dari Kompeni. Hanya Kompeni yang boleh memasukkan (impor) kain-kain dan barang-barang Tiongkok ke Makassar. Makassar diwajibkan membayar ganti kerugian perang. Lebih menyakitkan hati lagi karena yang dijadikan alat menaklukkan dan mengalahkan Makassar ialah anak Bugis sendiri, Aru Palaka anak Raja Sopeng.

Dari itu banyaklah pahlawan Bugis dan Makassar mengembara meninggalkan kampung halaman dengan hati hiba. Banyak di antara mereka pergi ke Jawa, baik Jawa Timur atau Jawa Barat. Di mana saja ada perlawanan kepada Kompeni, dengan tidak fikir panjang mereka turut membantu, turut berjuang. Di antara mereka ialah Syekh Yusuf yang menjadi Mufti Kerajaan Bantam di zaman Sultan Agung Tirtayasa. Di antara mereka pula ialah Karaeng Galesong yang bertemu di Madura dengan Trunojoyo dan memadukan kekuatan jadi satu melawan Kompeni.

Tidak puasnya kaum Ulama di bawah pimpinan Pangeran Giri, bertambah dengan tidak puasnya pahlawan Makassar Karaeng Galesong ditambah lagi dengan tidak puasnya Madura karena perangai Adipatinya Cakraningrat II, inilah yang berkumpul jadi satu untuk menimbulkan "Perang Trunojoyo" yang terlukis dalam sejarah abad ketujuh belas itu!

Trunojoyo anak bangsawan Madura dianggap sebagai Kepala Perang Sabil.

Udara telah bertukar! Jika dahulu tatkala Sultan Agung masih hidup, musuhnya yang utama ialah Kompeni Belanda dan Belanda menyokong adipati Surabaya untuk melawan Mataram, sekarang keadaan telah terbalik. Hidup mati, naik turunnya Mataram, sejak Amangkurat I adalah di bawah belas kasihannya Kompeni.

Tentara Mataram dibantu oleh tentara Kompeni Belanda berbaris rapat menentang serangan. Untuk itu Amangkurat I terpaksa mengurbankan lagi kemerdekaan Mataram. Kompeni berjanji akan membantunya sampai menang, dengan bayaran 250.000 rial dan 3.000 pikul beras. Kalau perang lebih lama, maka Susuhunan akan menambah bayaran 20.000 rial lagi.

Dan sejak itu Kompeni harus dibebaskan dari biaya cukai memasukkan barang-barang di seluruh pelabuhan Jawa. Kompeni berhak mendirikan kantor (loji-loji) di mana dipandangnya perlu dan dapat bayaran pula 4.000 pikul beras menurut harga pasar.

Setelah perjanjian ini disetujui oleh Susuhunan Amangkurat I barulah Kompeni bertindak tegas menghadapi gabungan tiga pahlawan yakni Trunojoyo yang meresmikan gelar Prabu Maduretno, Karaeng Galesong pahlawan Makassar dan Pangeran Giri dari kalangan Ulama!

Maka mulailah Speelman pahlawan Kompeni yang mempelopori perjanjian Bongaya itu melakukan peranannya, di samping perang senjata dipatainya juga perang siasat. Tetapi Pahlawan Madura Trunojoyo ;adalah keras kersang, tak dapat ditawar, laksana gunung-gunung kapur di pulau Madura juga. Tiap berperang, tiap terdesaklah Kompeni dan semakin luaslah daerah yang dapat dikuasainya. Sudah hampir seluruh Pesisir Jawa dapat direbutnya.

Perlawanan pun timbul di mana- mana. Sejak dari Bantam di Barat, sampai ke daerah Priangan, bahkan sampai ke Kediri Jawa Timur telah menggelegak menanti masa dan ketika buat menyatakan terang-terang menjadi pengikut Trunojoyo.

Di ibu kota sendiri kebencian orang bertambah memuncak kepada Susuhunan. Dengan terang- terang orang telah berani memuji Trunojoyo di hadapan majlis baginda. Baginda dicap kena "keparat" para kiyahi dan santri yang baginda suruh bunuh. Malahan Raden Kejoran, seorang pegawai tinggi yang dipercayai selama ini, hilang dengan tiba-tiba dari ibu kota dan terdengar telah ada di Kediri menggabungkan diri kepada tentara Trunojoyo.

Sangatlah keras tekahan batin yang menekan perasaan baginda. Negeri terjual, rakyat benci, kaum agama menyumpah, sampai akhirnya terganggu jiwa beliau, sehingga baginda meninggalkan istana dengan diam-diam.

Ke luarnya Susuhunan dan istana dipandang melanggar adat yang sakti. Karena istana tempat baginda bersemayam dipandang memancarkan sinar yang dinamai "Shri" atau "Syakti" dengan sinar itulah negeri diperintah. Speelman yang cerdik tahu akan adat itu. Maka diangkatlah putera Pangeran Adipati Anom menjadi gantinya, atas kehendak Belanda, memakai gelar Susuhunan Amangkurat II (1677 -1703).

 

 

Yuk koleksi buku bacaan berkualitas dari buku Republika ...
Advertisement
Berita Lainnya
Advertisement
Advertisement
Advertisement