REPUBLIKA.CO.ID, Dinamika dalam sebuah pernikahan kerap terjadi. Saling salah paham antara suami dan istri kerap menjadi bumbu penyedap dalam sebuah rumah.
Dinamika antardua kepala merupakan satu hal yang wajar. Sungguh bisa dipahami jika pendapat istri ada kalanya berbeda dengan pendapat suami. Adakalanya, kebohongan juga terjadi di antara dua pasangan tersebut.
Pada suatu waktu di zaman kekhali fahan Umar bin Khattab RA, ada seorang bernama Ibnu Abi Udzrah Ad Duali. Dia dikenal sering meng-khulu istrinya. Maka, ramailah di kalangan masyarakat pembicaraan mengenai peristiwa yang tidak disukainya itu.
Setelah mengetahui hal itu, ibnu Abi Udzrah menggandeng tangan Abdullah bin Arqam ke rumahnya. Kemudian, dia berkata kepada istrinya, "Saya mohon engkau bersaksi karena Allah, apakah engkau membenciku? Istrinya menjawab, "Tidak perlu engkau meminta saya bersaksi karena Allah." Ia berkata, "Sa ya minta engkau bersaksi karena Allah". Istrinya menjawab, "Ya. Saya bersaksi." Lalu, dia berkata kepada Ibnul Arqam, "Apakah engkau dengar?" Kemudian, keduanya pergi menghadap Umar RA. Ibnu Abi Udzrah berkata, "Anda mengatakan bahwa saya menganiaya istri saya dan meng-khulu-nya. Karena itu, tanyakanlah kepada ibnul Arqam. Lalu, Umar bertanya kepada ibnul Arqam dan Ibnul Arqam menceritakan kepada Umar peristiwa yang disaksikannya di atas.
Umar pun menyuruh memanggil istri Ibnu Abi Udzrah yang kemudian datang bersama bibinya. Umar bertanya, "Engkaukah yang mengatakan kepada suamimu bahwa engkau membencinya? Dia menjawab, "Sayalah orang yang pertama kali kembali kepada perintah Allah: Sesungguhnya dia meminta saya bersaksi karena Allah, tetapi saya merasa berkeberatan untuk berdusta. Maka, apakah boleh saya berdusta wahai Amirul Mukminin? Umar menjawab, "Boleh, berdustalah jika salah seorang dari kalian (kaum wanita) tidak suka kepada salah seorang dari kami (suami). Janganlah ia mengucapkan hal itu. Karena, sedikit sekali rumah tangga yang dibangun atas dasar cinta, tetapi manusia bergaul dengan berdasarkan ajaran Islam dan kemuliaan luhur."
Di dalam sebuah hadis disampaikan, kebohongan terhadap pasangan dibolehkan jika dilakukan pasangan suami dan istri. "Saya tidak pernah mendengar Rasulullah SAW memberi rukhsah (keringan an) untuk berdusta kecuali pada tiga per kara, yaitu: seseorang yang mengatakan suatu perkataan dalam rangka mendamaikan orang yang berselisih, orang yang mengatakan suatu perkataan (sebagai siasat) dalam peperangan, dan orang laki-laki mengatakan sesuatu terhadap istrinya dan istri terhadap suaminya."
Berdusta sebenarnya perbuatan yang tidak diperbolehkan Allah SWT karena termasuk tiga ciri orang munafik. Dalam satu hadis Abdullah bin Umar RA ber kata, Nabi SAW bersabda, ''Ada empat dosa sifat yang jika seseorang memperlihatkan semua cirinya, dia sepenuhnya orang munafik. Jika dia punya salah satu ciri, dia dianggap memiliki unsur-unsur seorang munafik. Ciri-ciri itu adalah berkhianat, berdusta, ingkar janji, dan melampaui batas jika ada perbedaan pendapat.'' (HR Bukhari).
Perbuatan dusta juga pasti tercatat oleh Allah SWT. Sehingga, tak seorang pun dapat lari dari konsekuensinya. "Tiada suatu ucapan pun yang diucapkan, melainkan ada di dekatnya malaikat pengawas yang selalu hadir." (QS Qaaf :18).
Ancaman nyata dari orang yang gemar berdusta, yakni neraka. Karena, seseorang yang gemar mengungkapkan perkataan dusta, akan menyeretnya untuk melakukan perbuatan maksiat lain nya. "Jauhilah oleh kalian perbuatan dusta. Sesungguhnya dusta itu mengantar kan ke jalan kemaksiatan dan sesung guh nya kemaksiatan itu menyeret ke dalam neraka." (HR Bukhari-Muslim). Dusta juga bisa menyeret seseorang ke dalam dosa besar jika berbohong atas nama Allah dan Rasul-Nya atau sumpah palsu.
Meski kaidah umum berdusta merupakan terlarang, tapi beberapa ulama memandang ada beberapa perbuatan dusta yang diperbolehkan. Imam Nawawi dalam Riyadush Shalihin bahkan, memasukkan satu bab khusus tentang dusta yang diperbolehkan. Salah satunya, berbohong kepada pasangan.
Hadis yang dirawikan Ummu Kultsum memperlihatkan hal tersebut. "Saya tidak pernah mendengar Rasulullah SAW memberi rukhsah (keringanan) untuk berdusta kecuali pada tiga perkara, yaitu: seseorang yang mengatakan suatu perkataan dalam rangka mendamaikan orang yang berselisih, orang yang me nga takan suatu perkataan (sebagai sia sat) dalam peperangan, dan orang lakilaki mengatakan sesuatu terhadap istri nya dan istri terhadap suaminya." HR Muslim.
Syekh Yusuf Qaradhawi juga menegaskan, alangkah tidak bijaksananya seorang istri menceritakan terus terang kepada suami, misalnya, kisah cintanya pada masa lalu yang telah dihapuskan dan ditutup aibnya. Bahkan, jika seorang suami memaksa istri untuk bersumpah guna menceritakan masa lalunya, Syekh Qaradhawi memandang paksaan suami tersebut tidak bijak. Pertama, karena mengungkit masa lalu termasuk tindakan yang sia-sia. Kedua, sumpah tersebut tidak akan menyelesaikan masalah rumah tangga itu.
Namun, batasan berbohong dalam rumah tangga, yaitu bohong yang tidak menggugurkan kewajiban pihak masing-masing. Al Hafidz Ibnu Hajar dalam Fathul Bari mengatakan, ulama sepakat jika yang dimaksud bohong antara suami dan istri yang diperbolehkan, yakni bohong yang tidak mengambil sesuatu yang bukan haknya. Wallahualam.