REPUBLIKA.CO.ID, JAKARTA -- Direktur Eksekutif Komite Pemantauan Pelaksanaan Otonomi Daerah (KPPOD) Robert Endi Jaweng menilai sejumlah regulasi di tingkat pemerintah tak harmonis dalam penanganan Covid-19. Perbedaan kebijakan antarkementerian soal penerima bantuan menghambat proses penyalurannya.
"Oh sangat (berpengaruh). Itu kan yang buat Bupati Bolaang Mongondow Timur marah. Terus ada juga video dari kepala desa di Jawa Barat. Ini representasi pemerintah yang paling bingung hari ini kabupaten/kota ya dan juga desa," ujar Robert saat dihubungi Republika, Ahad (3/5).
Ia mengaku menerima keluhan-keluhan dari sejumlah kepala daerah dalam menangani Covid-19 terhadap regulasi yang diterbitkan pemerintah pusat. Misalnya, Kementerian Desa membuat peraturan dana desa hanya untuk program padat karya, sedangkan menteri dalam negeri membolehkan dana desa digunakan untuk membeli sembako.
Kemudian, Kementerian Desa merevisi kembali kebijakan tersebut yang akhirnya membuat kepala daerah bingung. Contoh lain, menteri kesehatan menyatakan ojek online tidak boleh mengangkut penumpang di wilayah Pembatasan Sosial Berskala Besar (PSBB), sedangkan Kementerian Perhubungan memperbolehkan.
"Ini yang saya bilang sinkronisasi harmonisasi regulasi di pusat kita parah sekali. Kalau kita taat pada asas bahwa yang punya kebijakan itu presiden mestinya para menteri itu hanya menjabarkan di level bawah. Tapi kan faktanya para menteri itu membuat regulasi yang berbeda-beda satu sama lain, ini yang terjadi," kata Robert.
Menurut Robert, kepala daerah kerap kebingungan mengambil kebijakan di lapangan karena regulasi yang berbeda-beda dari pusat. Dalam hal bantuan, kepala daerah memilih bermain aman untuk menahan bantuan itu, ketimbang terpaksa membelanjakan anggaran justru menjadi temuan audit di kemudian hari.
Ia mengatakan, beberapa pemerintah daerah sudah ada yang membelanjakan anggaran bantuan Covid seperti pengadaan beras. Akan tetapi, kepala daerah justru takut menyalurkan bantuan dengan segera karena ketidakharmonisan regulasi.
Ujung-ujungnya, lanjut Robert, masyarakat yang merugi karena tidak kunjung mendapatkan bantuan. Sedangkan, masyarakat mengetahui di sejumlah media massa, pemerintah menggelontorkan bantuan dalam menghadapi pandemi Covid-19.
"Tapi bupatinya wah itu dimarahin sama masyarakat. Mereka sudah tahu ada bantuan dari televisi, tapi lho kok kami tidak pernah terima. Kebingungan, tapi juga pemda dan pemerintah desa yang berada di depan berhadapan dengan masyarakat," lanjut Robert.
Ia meminta pemerintah memperbaiki tata kelola dengan adanya satu simpul uang masuk ke warga. Menurut Robert, seharusnya bantuan dalam pandemi Covid-19 ini harus berdasarkan perhitungan kebutuhan masyarakat maupun kondisi warganya.
Sementara, saat ini masing-masing kementerian membawa uang sendiri-sendiri untuk masyarakat. Hal itu membuat masyarakat diklasifikasi berdasarkan jenis bantuan yang disediakan pemerintah.
Di samping itu, misalnya saja, warga yang sudah dapat Program Keluarga Harapan (PKH) tidak boleh mendapatkan Bantuan Langsung Tunai (BLT) dan sebagainya. Padahal nilai setiap bantuan berbeda, ada yang nilainya cuma Rp 60 ribu per Kepala Keluarga (KK) dan ada yang nilainya mencapai ratusan ribu.
Hal itu menimbulkan kecemburuan di masyarakat. Robert meminta klasifikasi penerima bantuan berdasarkan kebutuhan masyarakat dengan membuat level yang paling rentan.
"Ini masyarakat ini misalnya masyarakat yang terkena PHK (Pemutusan Hubungan Kerja). Dia harus dibantu dengan berapa nominalnya, kemudian jenis-jenis bantuan yang menyesuaikan ke nominal yang dibutuhkan. Bukan kemudian PKH sekian ya sudah nominal PKH sekian. Butuhnya segitu atau enggak bukan urusan kami, itu kan enggak bener," ungkap dia.