Senin 04 May 2020 11:44 WIB
Cetak uang

Ingat Cetak Uang, Ingat Utang KMB dan Gunting Syafruddin

Kejadian cetak uang di Indonesia.

Gunting Syafruddin
Foto: wikipedia
Gunting Syafruddin

REPUBLIKA.CO.ID, Oleh: Muhammad Subarkah, Jurnalis Republika.

"Indonesia akan cetak uang hingga Rp 600 trilun!" Bagaikan petir di siang bolong dan di tengah riuh suasana akibat pandemi virus asal Wuhan, China, entah mengapa ada suara dari gedung parlemen agar Bank Indonesia mencetak uang. Tujuannya untuk membiayai kas negara yang terindikasi terancam kosong akibat adanya pandemi ini.

Lalu, di publik segera muncul kontroversi. Pihak yang pro mengatakan itu langkah tepat sekaligus bukti sebagai tingginya rasa nasionalisme. Pada pihak yang kontra, misalnya ekonom senior DR Rizal Ramli, mengkritik dengan kerasnya. Menurut dia, itu sangat berbahaya dan hanya mengulang tragedi ekonomi yang pernah terjadi di negara-negara Afrika, khusunya Zimbabwe.

Bayangkan saja, kala itu untuk mengatasi krisis ekonomi, pemerintah Zimbabwe mencetak uang dengan gila-gilaan. Akibatnya, harga uang menjadi aneh, naik secara "pontang-panting". Inflasi muncul tinggi sekali. Untuk membeli satu kilogram gandung butuh satu kantong besar uang. Sebuah barang elektronik sederhana harganya mencapai miliaran.

Hal yang sama juga pernah terjadi di Turki pada krisis ekonomi tahun 1998. Pemerintah negara itu mencetak uang secara ngawur. Akhirnya rakyatnya bingung sendiri sebab uang Turki berubah seperti sampah. Untuk membeli satu kilogram ikan butuh uang turki satu tas besar. Sama dengan suasana Indonesia pada masa kini, kala itu Turki dihadapkan pada depresiasi nilai tukar. Mereka pun kelimpungan. Banyak perusahaan tutup, bank-bank berguguran, pengangguran naik, dan krisis ekonomi bertransformasi menjadi krisis sosial-politik.

Kisah soal tidak berharganya uang Indonesia (rupiah) pun sebenarnya tak perlu mengacu pada Turki dan Zimbabwe. Dalam sejarah kita, hal itu pernah dirasakan. Misalnya, pada kasus pendirian Bank Indonesia terkait dengan diubahnya status Javasche Bank dari bak swasta asing (Belanda) menjadi bank sentral atau kisah monumental terjadi hiperinflasi pada akhir periode kekuasaan Presiden Soekarno dengan adanya kebijakan "gunting Syafrudin".

Seorang aktvis senior dr Hariman Siregar punya kisah dari imbas gunting Syafruddin karena dia mengalaminya secara langsung. "Kala itu, akibat cetak uang yang gila-gilaan terjadi hiperinflasi. Kalau kita beli barang di pasar sehari berikutnya harga berubah makin mahal. Misalnya hari ini beli baju Rp 10 ribu, kontan besok paginya sudah menjadi Rp 11 ribu. Begitu juga hal lainnya."

"Akibat cetak uang kita memang ekonomi terkesan gagah. Duit tiba-tiba banyak di pasaran. Belrimpah. Tapi, nilainya nol bahkan terus berkurang. Yang paling celaka, duit hanya berlaku di dalam negeri. Pembayaran komoditi ekspor tetap pakai uang asing, yakni dolar. Akhirya ekonomi macet. Devisa tidak masuk. Rakyat tersia-sia. Akhirnya duit digunting oleh Gubernur BI kala ini, Syafruddin Prawiranegara," kata Hariman.

Kisah akibat hiperinflasi dan gunting Syafruddin pernah dialami oleh mantan rektor Universitas Muhammadiyah Surabaya, Prof DR Zainuddin Malik, yang kini menjabat sebagai anggota DPR. "Saya ingat betul. Waktu itu ibu saya ingin beli setagen (perlengakapan memakai kain kebaya). Harganya hanya Rp 2.000. Ibu baru punya uang Rp 1.000. Maka dia nabung hingga dapat uang sampai Rp 1.500. Tapi, belum sampai bisa membeli setagen yang Rp 2.000 itu, datang pengumuman potong uang atau gunting Syafruddin, yakni Rp 1000 menjadi Rp 1," katanya.

"Akibatnya, ibu saya hanya punya uang Rp 1,5. Setagen gagal ibu beli. Kami makin merasa menyakitkan sekali. Kami kemudian merasa benar-benar sengsara karena harga-harga malah kemudian mahal dan uang makin susah di dapat," katanya.

Hari ini 10 Maret : Kebijakan Moneter “Gunting Syafruddin ...

                   

                    *****

Sementara itu, terkait dengan cetak uang kala menjelang pendirian Bank Indonesia tahun 1950, juga ada kisah yang tak kalah tragis. Kala itu terjadi dalam era yang hampir sama dengan era datangnya pengakuan kedaulatan RI oleh Belanda dalam Perjanjian Den Haag atau Konfrensi Meja Bundar (KMB).

Suasana itu sebenarnya sudah mulai terasa misalnya dengan kepulangan Jenderal Sudirman ke Yogyakarta yang terjadi sekitar bulan Juli 1949 sebagai awal dari proses perundingan di Den Haag tersebut. Dengan kata lain, tanda-tanda perang akan berakhir sudah terlihat meski perundingan masih berjalan alot.

Di Den Haag kala itu memang tampak Belanda tersudut dan mulai menyerah. Apalagi, ada fakta lain, yakni desakan sekaligus ancaman pemutusan bantuan Marshal Plan oleh Amerika Serikat. Belanda diancam tidak mendapat batuan rehabilitasi perang sebagai bagian dari pembayaran parampasan perang dari kelahan Jerman dalam Perang Dunia II. Amerika Serikat tidak mau uang pembangunan Eropa dipakai untuk membiaya perang oleh Belanda di tanah koloninya yang sangat jauh letaknya.

Pengambil kebijakan di pemerintah Belanda kala itu melihat ancaman Amerika Serikat tak main-main. Rakyat Belanda sendiri saat itu mulai merasa bahwa akhirnya tanah koloni di Hindia Timur itu akan terlepas. Istilah mereka, tiba-tiba di sekolah mulai muncul kepala-kepala murid berambut lurus dan hitam serta berkulit bukan Eropa. Mereka anak-anak dari tanah jajahan.

Benar, tak berapa lama, pada akhir Desember 1949, perjanjian ditandatangani. Belanda mengakui eksistensi RI sebagai negara beradulat. Bung Hatta datang langsung ke Den Haag menerima pengakuan itu dari Ratu Juliana. Sedangkan, di Indonesia serah terima dilakukan oleh Sri Sultan Hamengku Buwono ke-IX di Istana Negara, Jakarta.

Namun, di balik perjanjian KMB atas pengakuan kedaulatan RI oleh Belanda, sebenarnya masih tersisa soal yang pelik, yakni status wilayah Papua dan keharusan RI membayar utang Hindia Belanda.

Pada forum KMB itu, delegasi Indonesia pada tanggal 24 Oktober 1949 sepakat untuk mengambil alih sekitar 4,3 miliar gulden Belanda utang pemerintah Belanda di Indonesia yang disebut Belanda sebagai Hindia Timur. Akhirnya disepekati bila soal Papua dibicarakan pada perundingan yang lain.

Namun, berbeda dengan soal status Papua, RI ternyata memilh menyerah ketika tak bisa menolak agar membayar ke Belanda atas utang Hindia Belanda. Awalnya, memang ada skenario utang akan dibayar dengan mata uang ORI yang berwarna merah. Mereka berpikir gampang karena tinggal cetak, semua beres. Namun, celakanya Belanda tidak mau dibayar pakai "uang merah". Mereka minta dibayar pakai dolar AS. Lalu, mereka menyarankan agar jadikan saja Javasche Bank menjadi bank sentral. RI terpaksa mengalah dengan berakibat berubahanya rencana awal di mana Bank BNI 1946 yang semula akan dijadikan bank sentral menjadi bank negara biasa, sama dengan BRI.

Akibat adanya pengakuan kedaulatan di KMB yang disertai kewajiban pembayaran hutang, di Indonesia soal ini kala itu menjadi bulan-bulanan politik. Partai Komunis Indonesia beserta afliasinya yang selama ini tidak suka kepada Bung Hatta menjadikannya sebagai alat untuk manuver politik.

"Bagaimana mungkin kita merdeka tapi harus membayar uang kepada penjajah. Seharusnya kita yang malah dapat rampasan perang dari pihak kolonial. Kalau begitu apakah Indonesia benar-benar merdeka,’’ kata politisi yang anti terhadap KMB yang ditandatangani Bung Hatta. Suasana polemik ini sangat terasa bila membaca arsip-arsip berita yang dipunyai kantor berita Antara.

Sebagai akibat pro-kontra yang terus kencang dan semakin kencang, sekitar kuartal hingga pertengahan tahun 1950, kemudian pemerintah mengeluarkan kebijakan agar pro-kontra disudahi saja. Meski begitu, kala itu banyak sekali pihak yang kecewa, terutama pihak yang selama ini menginginkan "Indonesia Merdeka total" seperti semboyan yang diyakini Panglima Besar Jenderal Sudirman dan Tan Malaka.

Namun, apa daya, kenyataan berkata lain. Kemerdekaan Indonesia ternyata punya sejarah berbeda dengan kemerdekaan Vietnam yang kala itu Ho Chi Minh benar-benar secara mutlak menggusur kekuasaan kolonial Prancis dari negaranya.

                                         *****

"Ya itulah kejadian soal cetak uang dan utang di KMB. Itu untuk pertama kaliinya Sukarno (Indonesia) kalah atau menyerah dengan kekuatan keuangan global. Cara membayar utang itu pun unik karena dibayar bukan dengan uang merah (ORI), tapi harus memakai mata uang asing (dolar) dengan cara membentuk bank sentral baru. Celakanya yang jadi bank sentral itu bukan BNI 46 yang memang sudah lama dipersiapkan, tapi malah mengubah Java’s Bank menjadi sentral dan kini menjadi Bank Indonesia," kata aktivis keuangan Zaim Saidi pada sebuah perbincangan.

Uniikya lagi, utang hasil KMB itu baru lunas pada masa pemerintahan Presiden Suharto yang juga dahulunya adalah salah satu orang yang dipilih para pemimpin sipil di Yogyakarta untuk menjemput pulang Panglima Besar Jenderal Sudirman pulang dari markas gerilya itu menjelang KMB.

Apakah sejarah akan berulang? Entahlah....

BACA JUGA: Ikuti News Analysis News Analysis Isu-Isu Terkini Perspektif Republika.co.id, Klik di Sini
Advertisement
Berita Lainnya
Advertisement
Advertisement
Advertisement