Senin 04 May 2020 12:32 WIB

Potret Israel di Sinetron Ramadhan Arab

Tanggapam sinetron menggambarkan penolakan mengerdilkan konflik Arab-Israel.

Ikhwanul Kiram Mashuri
Foto: Republika/Daan
Ikhwanul Kiram Mashuri

REPUBLIKA.CO.ID, oleh Ikhwanul Kiram Mashuri*)

Ramadhan ini ada tiga program drama berseri atau sinetron di televisi Arab yang heboh, penuh kontroversi, dan banyak dibicarakan masyarakat — baik di media sosial, televisi, maupun cetak. Ketiganya terkait dengan Israel dan Yahudi. Yaitu ‘Ummu Harun’, produksi Kuwait, dengan bintang utama Hayat al Fahd, lalu ‘Exit 7’ (Makhraj 7) garapan Arab Saudi yang dibintangi Nasser al Qasabi, dan sinetron Mesir ‘The End’ (an Nihayah), dengan aktor utama Youssef el Sharif.

Yang dimaksud dengan Arab adalah 22 negara yang tergabung dalam Liga Arab, dengan jumlah penduduk lebih dari 400 juta jiwa. Mereka antara lain disatukan oleh kesamaan bahasa. Dengan adanya internet beserta berbagai platform-nya, program-program televisi di satu negara Arab pun bisa diakses oleh negara Arab lainnya.

Serial ‘Ummu Harun’ menyoroti sejarah komunitas Yahudi pada 1940-an abad lalu, melalui kehidupan sehari-hari seorang dokter Yahudi dan tantangan yang dihadapi keluarga dan komunitasnya (Yahudi) di kawasan Teluk. Sejak episode pertama ditayangkan pada malam pertama Ramadhan, sinetron ini langsung menuai kritik dan komentar negatif dari masyarakat Arab.

Intinya, drama seri ini dinilai telah menggambarkan perjalanan sejarah yang sangat positif tentang hubungan antara Arab dan Yahudi, dan itu dianggap merugikan perjuangan bangsa Palestina. Ummu Harun dalam sinetron itu disosokkan mewakili penderitaan perempuan Yahudi sebelum berdirinya negara Israel. Hal ini, menurut para pengkritik drama seri itu, merupakan hadiah yang paling berharga yang diberikan kepada Israel, pada saat Perdana Menteri Benjamin Netanyahu akan mencaplok sebagian besar wilayah Gaza dan sebagian wilayah Yordania.

Kritik lainnya, drama seri ‘Ummu Harun’ dinilai sengaja dibuat sebagai persiapan normalisasi hubungan Israel, terutama dengan beberapa negara Teluk.

Kritik serupa juga dialamatkan pada serial drama ‘Exit 7’. Sinetron drama Ramadhan ini dianggap telah mengubah arah acara-acara televisi yang biasa mengupas masalah sosial ke topik politik yang sangat panas di Timur Tengah. Yaitu sebuah serial televisi yang menyajikan konflik Arab-Israel dan phobia normalisasi hubungan dengan Israel, melalui anggota keluarga Dokhi (Nasser al Qasabi), seorang ayah 40-an tahun, yang khawatir setelah ia memergoki putranya yang masih remaja, Ziyad, berteman dengan remaja Israel seusianya. Mereka bermain melalui game elektronik.

Menurut kritikus seni Timur Tengah, Mubarak Al-Khalidi, wajar bila masalah normalisasi hubungan Arab-Israel dibahas dalam drama televisi. Ia pun memahami jika masalah tersebut kemudian menjadi kontroversial lantaran sensitivitasnya. Namun, katanya, seni tidak tidak dapat dipisahkan dari fakta masyarakat.

Bagi al Khalidi, pembicaraan tentang normalisasi hubungan Arab-Israel membutuhkan banyak momentum dan kehati-hatian. Sebagai orang yang menolak normalisasi, ia pun gundah bahwa para seniman yang berbicara normalisasi sebenarnya bukan memotret pandangan masyarakat tapi pendapatnya sendiri atau karena ‘pesanan’. Ia khawatir pembicaraan normalisasi yang sangat sensitif ini menjadi pembicaraan warung kopi seperti orang membicarakan sepak bola atau topik-topik populer lainnya.

Media Inggris, The Guardian, dalam laporannya menyebutkan drama Ramadhan di televisi Arab sekarang ini telah mengindikasikan perubahan dalam hubungan Arab-Israel. Berbeda dengan kebiasaan pada tahun-tahun sebelumnya, menurut The Guardian, para produser drama seri pada Ramadhan ini telah berani menyentuh topik baru. Yaitu memanfaatkan sinetron yang ditonton banyak masyarakat untuk menyoroti normalisasi hubungan dengan Israel yang sangat sensitif. Media ini menunjuk dua drama yang bisa diakses masyarakat Teluk pada Ramadhan ini, yang telah menimbulkan kegaduhan dan kontroversi — ‘Ummu Harun’ telah berani menyoroti sejarah orang-orang Yahudi di Teluk dan ‘Makhraj 7’ yang memberikan kesan bahwa Israel bisa jadi bukan lagi musuh.

Berbeda dengan ‘Ummu Harun’ dan ‘Makhraj 7’ yang memberi kesan positif hubungan Arab-Israel dan mendapat berbagai kritik pedas masyarakat Arab, kritik tajam terhadap seri drama Mesir ‘an Nihayah’ justru datang dari pihak Israel. Sebaliknya, masyarakat Arab malah menyukainya.

‘An Nihayah’ bercerita atau meramalkan tentang kehancuran Israel. Hal ini tentu agak aneh, karena Mesir telah menandatangani perjanjian damai dengan Israel pada Perjanjian Camp David tahun 1978. Hingga kini kedua negara mempunyai hubungan diplomatik setingkat duta besar.

Pada episode pertama ‘an Nihayah’ diceritakan, sejumlah anak sekolah sedang mendapatkan pelajaran dari seorang guru tentang ‘Harb Tahrir al Quds’ (Perang Pembebasan Yerusalem). Sang guru menjelaskan di depan kelas, ‘’Ketika waktunya tiba bagi negara-negara Arab untuk menghancurkan musuh bebuyutannya, perang akan berkobar, yang dinamai dengan ‘Perang Pembebasan Yerusalem’. Perang akan berakhir dengan cepat. Perang itu akan menyebabkan kehancuran Israel sebelum 100 tahun pendiriannya. Orang-orang Yahudi akan kembali ke negara-negara dari mana mereka berasal.’’

Pihak Israel tentu saja sewot dengan seri drama Mesir itu. Seperti disebutkan Jeruslem Post, Kemenlu Israel langsung memprotes sinetron itu. Mereka mengatakan drama seri yang menyerang Israel seperti itu sebagai tidak bisa diterima. Terutama oleh negara yang telah menandatangani perjanjian damai dengan Israel sejak 41 tahun lalu.

Menanggapi kemarahan pihak Israel itu, Amr Samir Atef, penulis naskah ‘an Nihayah’, yang merupakan drama seri fiksi ilmiah, menyebutkan sebagai ‘hal aneh dan berlebihan’. Menurutnya, Israel telah secara terus menerus memproduksi karya-karya seni yang menyerang orang-orang Arab dan Palestina dan menggambarkan mereka sebagai teroris. Ia pun bertanya mengapa mereka melarang kebebasan berekspresi pihak lain. Ia menambahkan, ketidakadilan telah menciptakan kehidupan yang penuh konflik. Israel telah menduduki tanah Arab.

Tamer El-Shahawi, anggota Dewan Perwakilan Rakyat dan mantan perwira intelijen Mesir, juga menolak keras pernyataan Kemenlu Israel. Menurutnya, drama seri ‘an Nihayah’ merupakan bagian dari kebebasan berpendapat dan berekspresi yang  dijamin oleh undang-undang di Mesir.

Sejak episode pertama ditayangkan pada awal Ramadhan, ‘an Nihayah’ mendapatkan sambutan meriah dari para pemirsa di Mesir dan negara-negara Arab. ‘An Nihayah’ merupakan drama seri yang paling banyak ditonton di antara lebih dari 20 sinetron lain, yang di Mesir dikenal sebagai ‘musim drama Ramadhan’.

Itulah potret Israel di tiga sinetron Ramadhan Arab. Sinetron yang direspon berbeda-beda oleh masyarakat karena ceritanya yang juga berbeda. Respon negatif masyarakat terhadap ‘Ummu Harun’ dan ‘Makhraj 7’ dan tanggapan positif terhadap ‘an Nihayah’ jelas menunjukkan pandangan umum masyarakat Arab yang belum siap ‘menganggap Israel sebagai teman’ — normalisasi hubungan. Pandangan umum masyarakat yang sering kali berbeda dengan pendapat para penguasa.

Beberapa penguasa Arab ada yang berpandangan Israel bukan lagi musuh. Israel bukan ancaman. Yang justru menjadi ancaman adalah Iran. Yang terakhir ini dianggap lebih berbahaya daripada Israel. Konflik yang tadinya Arab-Israel pun diperkecil menjadi konflik Palestina-Israel, dan kemudian dikerdilkan lagi menjadi konfik Hamas-Israel. n

BACA JUGA: Update Berita-Berita Politik Perspektif Republika.co.id, Klik di Sini
Advertisement
Berita Lainnya
Advertisement
Advertisement
Advertisement