REPUBLIKA.CO.ID, JAKARTA – Menteri Keuangan Sri Mulyani mewaspadai kontraksi kinerja manufaktur Indonesia di tengah pandemi Covid-19. Khususnya setelah melihat data Purchasing Managers Index (PMI) yang berkontraksi turun menjadi 27,5 pada bulan lalu, menjadi indeks terendah dalam sejarah sejak 2011.
Sri mengatakan, kinerja manufaktur Indonesia bahkan lebih buruk dibandingkan beberapa negara tetangga seperti Jepang dan Korsel. "PMI kita 27,5, paling dalam di ASEAN. Ini harus kita waspadai," katanya dalam Rapat Kerja dengan Banggar DPR melalui teleconference, Senin (4/5).
Seperti dilansir di Reuters, Senin, PMI Jepang mencapai ke level terendah selama 11 tahun. Sementara itu, Korea Selatan sebagai ekonomi terbesar keempat di Asia tergelincir ke level 41,6.
Seperti dilansir di situs IHS Markit yang menganalisis PMI manufaktur, kemerosotan manufaktur Indonesia pada bulan lalu disabkan dampak pandemi terhadap penutupan pabrik. Selain itu, adanya penurunan permintaan, output dan permintaan baru. Keluangan kapasitas pun menjadi lebih besar dari biasanya.
Kinerja manufaktur terus mengalami pemburukan. Sebab, PMI pada Maret 2020 masih berada pada level 43, meskipun masih disebut sebagai kontraksi. Kebijakan phyiscal distancing, Pembatasan Sosial Berskala Besar (PSBB) dan lockdown di negara lain yang menyebabkan keterbatasan impor bahan baku menjadi faktor penyebabnya.
Sri memproyeksikan, kontraksi manufaktur tidak terhenti pada bulan lalu, melainkan masih berlanjut mengingat pembatasan kegiatan sosial dan ekonomi terus diberlakukan. "Pemburukan diperkirakan sampai Mei," tutur mantan direktur pelaksana Bank Dunia tersebut.
Kepala Ekonom IHS Markit Bernard Aw mengatakan, kontrkasi manufaktur turut berdampak pada ketenagakerjaan Indonesia. Banyak lapangan kerja yang berkurang selama dua bulan terakhir dengan adanya peningkatan laporan Pemutusan Hubungan Kerja (PHK).
Bernard menambahkan, kontraksi manufaktur ini dapat berimbas pada Produk Domestik Bruto. "Indikasi seputar pertumbuhan PDB, menurun tajam ke tingkat tahunan mendekati tiga persen," tuturnya dalam keterangan tertulis di situs IHS Markit.
Tidak hanya itu, Bernard menekankan, survei IHS Markit menggarisbawahi kerugian terbesar yang belum pernah terjadi pada perekonomian Indonesia. Hal ini disebabkan tindakan darurat kesehatan masyarakat untuk menekan laju penyebaran virus.