REPUBLIKA.CO.ID, JAKARTA -- Bank Pembiayaan Rakyat Syariah (BPRS) menjadi salah satu entitas yang terpukul Covid-19. Pengamat Ekonomi Syariah, Adiwarman Karim menyampaikan BPRS harus bersiap untuk menghadapi kondisi krusial hingga sekitar bulan Juli-Agustus 2020.
"Saatnya berpikir kreatif, cerdas, ada celah di kebijakan yang bisa dimanfaatkan," katanya dalam diskusi virtual, Senin (4/5).
Ia menyebut BPRS memiliki keterbatasan wilayah kerja dalam peraturan OJK. Namun dengan kolaborasi dan kemajuan teknologi, BPRS bisa menjangkau area yang lebih luas. Sebisa mungkin entitas perlu lebih dinamis dan fleksibel.
BPRS juga menghadapi tantangan di sisi likuiditas dan risiko kenaikan rasio pembiayaan bermasalah. Bagi hasil simpanan bisa berkurang sehingga daya saing berkurang.
Sekretaris Jenderal Asosiasi Bank Syariah Indonesia (Asbisindo), Achmad Kusna Permana menyampaikan, masing-masing BPRS harus fokus pada identifikasi masalah dan solusi. Tinggalkan rencana yang tidak perlu dan fokus pada yang rencana pertahanan.
"Bisa dengan kerja sama dengan bank syariah juga menyarankan kebijakan pada OJK yang bisa membantu melewati fase sulit," katanya.
Ia menyarankan agar BPRS mengumpulkan rekomendasi kebijakan yang dapat menjadi bantuan atau relaksasi. Asbisindo akan menfasilitasi rekomendasi tersebut untuk didiskusikan dengan regulator.
Rekomendasi tersebut bisa dalam bentuk keharusan adanya fasilitas penempatan dana bank syariah di BPRS. Karena BPRS tidak bisa menikmati akses likuiditas seperti GWM juga RIM.
Selain itu juga, potensi dana haji yang mungkin bisa mengalir hingga ke BPRS dalam skema penempatan dari Bank Umum Syariah. BPRS sangat perlu mendapatkan kemudahan untuk juga mengakses likuiditas yang ada di pasar.