REPUBLIKA.CO.ID, JAKARTA -- Pengamat Sosial Universitas Indonesia Devie Rahmawati menilai ada banyak hal yang dapat melatarbelakangi kasus prank (kejahilan) sembako sampah. Namun, di era media sosial, yang paling mendekati adalah karena obsesi mendapatkan perhatian.
"Anak-anak muda tentu saja ada banyak latar belakang. Tapi yang menarik di era media sosial ini, mereka semua terobsesi untuk mendapatkan apresiasi dari publik," ujar Devie melalui sambungan telepon, Senin (4/5).
Untuk memenangkan hati publik, bisa dengan prestasi, kreasi, dan sensasi. Jika berdasarkan prestasi yang dimiliki dan kreasi positif ciptaannya, tentu saja akn menghasilkan konten baik, namun jika sudah mengandalkan sensasi semata, maka yang terjadi ialah sebagaimana yang terjadi pada kasus sembako sampah.
"Tentu saja ini menjadi berbahaya ketika kemudian sensasi ini justru bersifat negatif. Aristoteles pernah mengatakan manusia itu memang egois, oleh karenanya manusia selalu ingin diperhatikan," ujar Devie.
Karenanya di era media sosial ini, upaya untuk mendapatkan perhatian menjadi lebih mudah dan murah. Celebrity culture merupakan bagian dari DNA manusia. Di era celebrity culture, semua orang terobsesi menjadi pusat perhatian lewat media sosial.
"Cara seseorang mendapatkan perhatian lebih di panggung media sosial menjadi sangat beragam. Salah satunya dengan melakukan hal-hal yang sifatnya sensasional. Nah, ini yang kemudian berbahaya ketika sensasi ini dibangun atas penderitaan orang lain," ujar Devie.
Prank sampah ini merupakan jenis prank buruk karena menyakiti orang lain. Jenis prank sendiri bermacam-macam, ada positif, netral, dan prank buruk.
"Tentu saja ini masuk kategori prank buruk. Masyarakat dalam kondisi yang sebenarnya sudah tidak nyaman ketika ada upaya membuat humor yang menambah ketidaknyamanan tentu saja masuk kategori negatif," ujar Devie.