Senin 04 May 2020 22:09 WIB

Ahli: Banyak Infeksi Covid-19 di Bali Keliru Didiagnosis

Kasus Covid-19 di Bali jauh lebih tinggi daripada perhitungan resmi.

Rep: Kiki Sakinah/ Red: Agus Yulianto
Pelaksanaan rapid test corona massal di Buleleng, Bali.
Foto: Dok. Ist
Pelaksanaan rapid test corona massal di Buleleng, Bali.

REPUBLIKA.CO.ID, Bali -- Bali dianggap menjadi tempat yang menyimpan misteri karena tidak menunjukkan tanda-tanda nyata dari perluasan pandemi Covid-19 di sana. Beberapa hari setelah turis baru dilarang masuk ke pulau itu dan ketika sebagian besar dunia menerapkan lockdown, puluhan ribu orang Bali justru menghadiri upacara Hindu yang menandai Tahun Baru Isaka atau yang dikenal dengan Hari Raya Nyepi.

Dilansir di Al Jazeera, Senin (4/5), ahli epidemiologi Dr Dicky Budiman mengatakan, jumlah sebenarnya dari kasus Covid-19 di Bali jauh lebih tinggi daripada perhitungan resmi. Hanya saja, dia mengatakan, penyebaran itu tidak terdeteksi karena kurangnya tes yang dilakukan dan pelaporan, yang disebabkan oleh norma-norma budaya yang mendorong penyembuhan tradisional di rumah. Dia juga menyebut banyak infeksi Covid-19 di Bali yang keliru didiagnosis sebagai kasus demam berdarah.

Dicky mengatakan, tingkat kematian kasus Covid-19 yang begitu rendah di Bali dapat dikaitkan dengan wabah asimptomatik. Menurutnya, 80 persen dari semua kasus di dunia tidak menunjukkan gejala atau asimptomatik, karena mereka terkait dengan orang dewasa muda.

"Saya percaya itu terjadi di Bali, sebagian besar kasus tidak menunjukkan gejala karena demografi anak muda," tambahnya.

Profesor Universitas Udayana Gusti Ngurah Mahardika, ahli virologi paling senior di Bali, juga percaya bahwa kependudukan (demografi) di pulau itu berperan. Ia mengatakan, struktur usia di Bali rata-rata hanya 30 tahun.

"Tetapi jika Anda membandingkannya dengan Amerika di mana 16 persen populasi berusia lebih dari 70 tahun dan di Italia 20 persen, itu memberikan penjelasan yang masuk akal tentang rendahnya jumlah kasus yang dilaporkan dan tingkat kematian yang rendah di Bali," kata Mahardika.

Ia lantas menekankan bahwa virus corona tidak menularkan secara efektif di iklim tropis seperti Bali. Ia sendiri telah menerbitkan sebuah makalah yang berpendapat bahwa Covid-19 mungkin sensitif terhadap panas dan kelembaban seperti yang telah dilaporkan dengan virus seperti MERS dan SARS. Sebelumnya, Presiden Jokowi juga pernah mengatakan soal teori panas kepada wartawan.

"Semakin tinggi suhunya, semakin tinggi kelembaban dan paparan langsung sinar matahari akan semakin memperpendek masa hidup Covid-19 di udara dan pada permukaan yang tidak berpori. Ini adalah berita baik bagi Indonesia," kata Jokowi, mendasarkan pernyataan tentang 'penemuan baru' yang dirilis oleh Departemen Keamanan Dalam Negeri AS.

Namun demikian, teori panas nyatanya gagal memperhitungkan tingkat infeksi di Singapura, yang kondisi meteorologinya sangat mirip dengan Bali. Singapura mencatat lonjakan harian lebih dari 1.400 kasus Covid-19 yang dikonfirmasi pada 20 April 2020 lalu.

Hal serupa terjadi di kota Manaus di Brasil, di mana kondisi meteorologis dan demografinya hampir identik dengan yang ada di Bali. Wali Kota Virgilio Neto menggambarkan situasinya seperti film horor, karena mayat menumpuk di truk berpendingin, kuburan massal dibuat, dan sistem perawatan kesehatan yang lumpuh di sana.

Menanggapi kasus di Manaus ini, Mahardika mengatakan, bahwa awalnya ia dibuat bingung oleh peristiwa di kota itu. Namun, ia kemudian berargumen bahwa satu-satunya variabel yang tersisa untuk dipertimbangkan adalah beberapa norma budaya dan gaya hidup orang Brasil.

Menurutnya, orang Brasil kerap melakukan kontak fisik yang lebih erat dibandingkan dengan orang Bali. Namun demikian, ia juga mengatakan, bahwa semua tanggapannya itu hanya dugaan karena pengujian virus corona yang memang terbatas.

"Tidak ada transparansi data di Indonesia, jadi yang bisa kita lakukan hanyalah berspekulasi. Tapi satu hal yang pasti, tidak ada keajaiban di Bali," tegasnya. 

BACA JUGA: Ikuti News Analysis News Analysis Isu-Isu Terkini Perspektif Republika.co.id, Klik di Sini
Advertisement
Berita Lainnya
Advertisement
Advertisement
Advertisement