Selasa 05 May 2020 03:50 WIB

Kisah KH Abdullah bin Nuh Mimpi Bertemu Rasulullah SAW

KH Abdullah bin Nuh merupakan ulama yang alim dari Jawa Barat.

Red: Nashih Nashrullah
KH Abdullah bin Nuh (kiri) bersama Grand Syekh Al Azhar Mesir, Syekh Abdurrahman Baishor
Foto: Dok Istimewa
KH Abdullah bin Nuh (kiri) bersama Grand Syekh Al Azhar Mesir, Syekh Abdurrahman Baishor

REPUBLIKA.CO.ID,  Siapa KH Abdullah bin Nuh itu, hingga namanya diabadikan menjadi sebuah jalan protokol di tengah Kota Bogor?

Ia adalah salah satu ulama kharismatik dari Jawa Barat yang gigih berjuang mengangkat senjata melawan penjajahan di Indonesia. Ia juga memiliki peran strategis sebagai jurnalis di berbagai surat kabar dan majalah serta sebagai penyiar Bahasa Arab di RRI di masa awal kemerdekaan.

Baca Juga

Di bidang pendidikan ia tercatat sebagai perintis berdirinya perguruan tinggi Islam di Yogyakarta (kini UII) serta menjadi dekan di Fakultas Sastra Universitas Indonesia. Ia juga penulis produktif yang banyak menghasilkan puluhan karya buku baik dalam bahasa Arab, Inggris, dan Indonesia.

Beliau dikenal sebagai wali Allah yang memiliki banyak karamah. Seperti kesaksian Habib Umar Majalaya. Sewaktu kecil, ia diajak ayahnya ke Pesantren Al-Ghazali Bogor, saat sudah sampai di depan pintu, ia bergumam dalam hatinya, ‘Ajengannya sudah tua ya’.

Seketika itu Kiai Abdullah menjawabnya, ‘Benar sekali Habib, saya memang sudah tua.’ Si Habib pun terlihat malu, dan berpikir bagaimana bisa si Ajengan membaca pikirannya. Ada kisah tak kalah menarik lainnya.

Habib Luthfi sewaktu mudanya pernah diutus sang ayah untuk berkunjung ke Pesantren Al-Ghazali Bogor. Dalam keadaan sakit, Kiai Abdullah setelah Subuh sudah meminta orang rumah menyiapkan hidangan untuk tamu istimewanya yang akan hadir.

Tibalah Habib Luhtfi bin Yahya, dan langsung disambut Kiai Abdullah dengan berbahasa Arab panjang lebar hingga sekitar 20 menit. Saat itu, sebagaimana diakui Habib Luthfi, Kiai Abdullah sedang mentransfer 12 Kitab kepadanya. keduabelas kitab itulah yang dipelajari Mama Abdullah dari kakek Habib Luthfi sewaktu menjadi snatri di Pekalongan. 

Kiai Abdullah juga dikaruniai kemuliaan mimpi bertemu Rasulullah hingga tak kurang dari 10 kali. Saat menjadi tentara PETA wilayah Jawa Barat, KH Abdullah bin Nuh memiliki satu amalan bershalawat kepada Rasulullah tak putus setiap harinya secara kontinyu.

Tiap derap langkah dan strategi yang ia ambil dalam aksinya melawan penjajah, selalu dibacakan shalawat terlebih dahulu. Wirid melanggengkan shalawat inilah, diakui KH Abdullah bin Nuh menjadi wasilah pertemuannya dengan sang kekasih hati, Nabi Muhammad SAW. 

Di antara salah satu kisahnya adalah sewaktu dalam masa perjuangan, Kiai Abdullah berencana mendatangkan senapan sebagai upaya melawan penjajahan di Tanah Air.

Tak hanya itu Kiai Abdullah selaku komandan PETA juga berencana mempelajari perakitannya. Pada suatu malam Kiai Abdullah bermimpi mendatangi suatu negeri yang penuh dengan pasir seperti pasir yang terdapat di negeri-negeri Arab, anehnya di sana terdapat gubug seperti di daerah Jawa.

Tiba-tiba saja, Rasulullah SAW berada di tengah-tengah gubug itu. Dikatakan bahwa Rasulullah SAW dalam beberapa tahun terakhir melaksanakan haji. Saat itu, Kiai Abdullah berniat melaksanakan haji sambil belajar merakit senapan kecil.

Lalu, dalam mimpi itu ia mendatangi Haji Abdur Rahman. Maka, ia memberi satu koper kulit yang berisikan senapan yang dimaksudkan dalam keadaan terbongkar. Mimpi ini terjadi ketika aku sedang melakukan jihad kemerdekaan Indonesia melawan kekuatan penjajah Belanda.

Bahkan, Haji Abdur Rahman berpesan kepadaku agar berhati-hati dengan membawa senjata itu. Akan tetapi, aku meninggalkannya untuk mendekati Rasulullah SAW hingga aku mencium tangannya yang mulia. Beliau bersabda, “Bukankah kamu datang untuk belajar merakit senjata api, ya sudah sana..!” Hal ini sebagai isyarat bahwa Rasulullah SAW merestui rencana KH Abdullah bin Nuh mendatangkan senapan.    

photo
Buku biografi KH Abdullah bin Nuh - (Dok Istimewa)

Kisah perjuangan KH Abdullah bin Nuh, bisa dibaca dalam buku Saya Muslim, Sunni, Syafi’i ini. Buku yang diterbitkan Sahifa Publishing, April 2020 ini diterjemahkan dari kitab berjudul Ana Muslimun, Sunniyun, Syafi’iyyun karya seorang ulama besar Tanah Sunda asal Cianjur, KH. Abdullah bin Nuh. Buku ini lahir dari permenungan diri dalam menyikapi pola keberagamaan di Indonesia. 

KH Abdullah bin Nuh di usia senjanya selalu menggaungkan persatuan umat Islam di Indonesia. Beliau wafat pada usia 84 tahun. Praktis, tidak ada waktu terbuang sia-sia dalam kehidupannya.

Semuanya dihabiskan untuk kepentingan umat, bangsa dan negara. Kiai Kharismatik ini meninggal pada 26 Oktober 1987. Jenazahnya dikebumikan di komplek Pesantren Al-Ghazali Bogor. Kisah perjuangannya menjadi pembelajaran yang abadi dan buku-buku yang ditulisnya menjadi amal jariyah yang mengalirkan pahala bagi Sang Wali Allah  asal Jawa Barat ini. Amin

 

Judul Buku    : Saya Muslim, Sunni, Syafi’i 

Penulis          : KH Abdullah bin Nuh

Penerbit        : Sahifa Publishing

Tahun           : April 2020 

Tebal            : 650 halaman

Advertisement
Berita Lainnya
Advertisement
Terpopuler
1
Advertisement