Selasa 05 May 2020 05:51 WIB

Peniliti Sebut Omnibus Law Berpotensi Minimalisasi Korupsi

Peneliti TII menilai Omnibus Law bisa meminimalisasi korupsi.

Rep: Rizkyan Adiyudha/ Red: Bayu Hermawan
Kontroversi Pasal 170 Omnibus Law RUU Cipta Kerja
Kontroversi Pasal 170 Omnibus Law RUU Cipta Kerja

REPUBLIKA.CO.ID, JAKARTA -- Peneliti Bidang Ekonomi dari The Indonesian Institute (TII) Rifki Fadila menilai, Omnnibus Lawa bisa meminimalisir terjadinyta praktik korupsi secara institusional di sektor manufaktur. Dia mengatakan, hal itu karena adanya pengurangan biaya transaksi pada perizinan usaha dan investasi.

"Sektor manufaktur merupakan bidang yang paling rentan terkena biaya-biaya yang tidak diperlukan," kata Rifki Fadilah dalam keterangan di Jakarta, Senin (4/5)

Baca Juga

Rifki mencontohkan, di dalam data EODB, waktu pengurusan perizinan konstruksi bangunan di Indonesia dapat mencapai hampir 200 hari. Dia mengatakan, hal itu dapat menjadi salah satu kendala bagi sektor manufaktur karena terdapat birokrasi yang berbelit hanya untuk mengurus perizinan bangunan.

"Kendala ini dapat berkembang menjadi institutional corruption yang dilakukan oleh pihak perusahaan maupun instansi pemerintah untuk mempercepat birokrasi perizinan tersebut," katanya.

Lebih lanjut, dia mengungkapkan bahwa Omnibus law juga bisa meningkatkan peringkat Indeks Kemudahan Berusaha atau Ease of Doing Business (EODB) 2020. Dia mengatakan, kenaikan peringkat EODB 2020 dapat dilakukan dengan efisiensi regulasi yang berbelit dan prosesnya panjang.

"Efisiensi regulasi dengan Omnibus Law juga dapat mengurangi biaya transaksi yang selama ini menghambat investasi," ujarnya.

Rifki  mengatakan, biasa transaksi yang dapat dipangkas melalui Omnibus Law termasuk dalam kategori bargaining cost atau biaya kesempatan dan policing and enforcement costs atau penerapan kontrak. Menuruntya, Rancangan Undang-Undang (RUU) itu juga dapat juga merupakan salah satu permasalahan yang ditekankan oleh penilaian EODB untuk Indonesia.

Dia mengungkapkan, saat ini Indonesia menempati urutan ke-73 dari 190 negara yang disurvei berdasarkan laporan Bank Dunia terkait EODB 2020. Dia mengatakan, beberapa indikator yang merupakan ketertinggalan Indonesia antara lain memulai usaha, konstruksi perizinan, pendaftaran properti, perdagangan lintas batas dan penegakan hukum terhadap kontrak.

Menuruntya, skema Omnibus Law, termasuk Cipta Lapangan Kerja (Ciptaker) diharapkan dapat memberikan iklim kondusif bagi investasi. Dia mengatakan, RUU itu juga memberi kemudahan berusaha serta meningkatkan daya saing Indonesia dan kesejahteraan pada umumnya.

"Hal ini akan dimungkinkan mengingat skema kebijakan Omnibus Law akan menghindarkan biaya-biaya yang tidak diperlukan, karena adanya institutional corruption yang terjadi pada pihak-pihak tertentu," katanya.

Seperti diketahui, DPR telah membentuk panitia kerja untuk membahas RUU Ciptaker. Namun, DPR dan Pemerintah telah sepakat untuk menunda pembahasan RUU tersebut mengingat pandemik virus Covid 19 yang terus menyebar di nusantara.

 

 

BACA JUGA: Update Berita-Berita Politik Perspektif Republika.co.id, Klik di Sini
Advertisement
Berita Lainnya
Advertisement
Terpopuler
1
Advertisement
Advertisement