Selasa 05 May 2020 18:49 WIB

Cetak Sawah tak Jawab Ancaman Krisis Pangan Akibat Covid-19

Pemerintah perlu mengoptimalkan stok pangan melalui penyerapan produksi domestik.

Rep: Dedy Darmawan Nasution/ Red: Friska Yolandha
Seorang warga memanen teh Jawa di perkebunan kawasan lereng gunung Sumbing Desa Sontonayan, Kertek, Wonosobo, Jawa Tengah, Selasa (5/5/2020). Peneliti Center for Indonesian Policy Studies (CIPS) Felippa Ann Amanta berpendapat, program cetak sawah tidak efektif untuk mendukung ketahanan pangan Indonesia selama pandemi Covid-19. Sebab, Indonesia masih kekurangan pasokan komoditas pangan untuk memenuhi kebutuhan dalam negerinya.
Foto: ANTARA/ANIS EFIZUDIN
Seorang warga memanen teh Jawa di perkebunan kawasan lereng gunung Sumbing Desa Sontonayan, Kertek, Wonosobo, Jawa Tengah, Selasa (5/5/2020). Peneliti Center for Indonesian Policy Studies (CIPS) Felippa Ann Amanta berpendapat, program cetak sawah tidak efektif untuk mendukung ketahanan pangan Indonesia selama pandemi Covid-19. Sebab, Indonesia masih kekurangan pasokan komoditas pangan untuk memenuhi kebutuhan dalam negerinya.

REPUBLIKA.CO.ID, JAKARTA -- Peneliti Center for Indonesian Policy Studies (CIPS) Felippa Ann Amanta berpendapat, program cetak sawah tidak efektif untuk mendukung ketahanan pangan Indonesia selama pandemi Covid-19. Sebab, Indonesia masih kekurangan pasokan komoditas pangan untuk memenuhi kebutuhan dalam negerinya.

Menggunakan cara ekstensifikasi lahan tidak akan berkontribusi signifikan pada pemenuhan kebutuhan domestik yang meningkat seiring jumlah penduduk yang semakin bertambah.

Baca Juga

Felippa mengatakan, lahan memang selama ini menjadi masalah besar di sektor pertanian Indonesia. Banyak lahan pertanian yang telah dikonversi untuk pengembangan industri, infrastruktur dan lainnya.

Data Badan Pusat Statistik (BPS) mencatat antara 2018 dan 2019, luas panen padi berkurang dari 11,4 juta hektare menjadi 10,7 juta hektar. "Upaya pemerintah untuk memperluas lahan pertanian perlu diapresiasi, namun langkah ini tidak bisa diharapkan menjadi solusi cepat untuk mengatasi krisis pangan selama pandemi Covid-19," kata Felippa dalam siaran pers, Selasa (5/5).

Ia menuturkan, pembukaan lahan sawah baru, apalagi di lahan gambut, akan mengambil waktu yang lama, mulai dari mengolah lahan hingga proses pertaniannya sendiri.

Pengolahan lahan menjadi sawah membutuhkan waktu yang tidak sebentar dan hal tersebut sangat tergantung pada jenis dan karakteristik lahannya. Hasil pembukaan lahan tidak bisa membantu kekurangan stok pangan yang terjadi saat ini, bahkan untuk selama bulan Ramadan hingga sampai akhir tahun. Karakteristik lahan yang dibuka untuk digunakan sebagai lahan pertanian juga belum tentu cocok dan berisiko mengakibatkan gagal panen.

“Proyek mencetak lahan sawah baru tidak tepat untuk mengatasi krisis pangan saat ini. Jika dilakukan secara tergesa-gesa, proyek pencetakan lahan sawah baru yang memakan modal besar ini malah menimbulkan risiko gagal panen yang merugikan petani dan risiko kerusakan lingkungan yang lebih besar,” ungkapnya.

Felippa menambahkan, untuk mengatasi krisis pangan selama pandemi Covid-19 ini, pemerintah seharusnya memperkuat produksi pangan yang sudah ada. Salah satunya dengan memberi fasilitas bagi petani seperti teknologi, sarana prasarana, dan kemudahan kredit usaha.

Selain itu, pemerintah perlu mengoptimalkan stok pangan melalui penyerapan produksi domestik sebanyak mungkin dan impor pangan. Pemerintah juga perlu memastikan kelancaran distribusi dan logistik pangan sehingga pangan bisa tersebar ke seluruh daerah di Indonesia. Hal ini sangat berkaitan dengan pemberlakuan Pembatasan Sosial Berskala Besar (PSBB) di beberapa daerah di Indonesia.

"Pengalaman Proyek Pengembangan Lahan Gambut Satu Juta Hektare di Kalimantan Tengah yang terjadi di pemerintahan Presiden Soeharto menunjukkan bahwa lahan gambut tidak cocok untuk penanaman padi," ujarnya.

Saat itu yang terjadi justru gagal panen dan kerugian besar. Lahan gambut lebih cocok untuk komoditas hortikultura, seperti nanas.

Pengolahan lahan gambut juga membawa risiko lingkungan yang besar akibat pelepasan karbon ke udara. Hal ini malah menambah emisi gas rumah kaca yang akan memperparah perubahan iklim.

Untuk mencapai ketahanan pangan, pemerintah tidak bisa hanya mengandalkan lahan pertanian. Hal ini karena semakin berkurangnya jumlah petani dan semakin berkurangnya lahan pertanian.

"Kalau pemerintah ingin mencapai ketahanan pangan, maka pemerintah harus terus mendorong produktivitas produksi dalam negeri dan memaksimalkan penyerapannya. Perdagangan internasional juga dapat dijadikan pilihan untuk memastikan ketersediaan komoditas pangan di pasar," ujarnya.

BACA JUGA: Update Berita-Berita Politik Perspektif Republika.co.id, Klik di Sini
Advertisement
Berita Lainnya
Advertisement
Advertisement
Advertisement