REPUBLIKA.CO.ID, JAKARTA — Tanaman pohon asal Australia, eukaliptus, dilaporkan memiliki efektifitas yang tinggi untuk membunuh virus corona.
Hasil uji yang dilakukan pada media buatan dengan menyesuaikan lingkungannya atau dikenal uji in vitro menunjukkan bahwa 60-80 persen virus corona dapat mati dengan pohon yang sebenarnya cukup mudah ditemukan di Indonesia.
"Hasil penelitian terakhir untuk eukaliptus sudah sampai molecular docking, mencocokkan ke virus, diuji in vitro 60 hingga 80 persen virusnya mati,” kata Kepala Balai Penelitian Tanaman Rempah dan Obat (Balittro) Kementerian Pertanian, Evi Safitri, ketika berbicara dalam webminar Rempah-rempah, Pengetahuan Medis dan Praktik Kesehatan di Indonesia yang digelar Ditjen Kebudayaan Kementerian Pendidikan dan Kebudayaan di Jakarta, Selasa (5/5).
Namun Evi menjelaskan virus corona yang diuji dalam penelitian itu bukan virus yang menjadi penyebab penyakit Covid-19. “Kami coba ke virus corona lain,” ujarnya.
Evi juga menjelaskan penambatan molekul atau molecular docking merupakan metode komputasi yang bertujuan meniru peristiwa interaksi suatu molekul ligan dengan protein yang menjadi targetnya pada uji in vitro.
Sejauh ini, kata dia, Balittro mencoba meneliti sejumlah tanaman rempah dan obat untuk dapat digunakan mengatasi Covid-19, beberapa di antaranya jahe merah, kunyit, temulawak, kayumanis, cengkeh, kulit jeruk, jambu biji, meniran, sambiloto, seraiwangi, eukaliptus, kayuputih, VCO.
Sebenarnya, menurut dia, ada banyak jenis tanaman yang memiliki potensi untuk pengobatan, terlebih Indonesia berada diperingkat tiga negara dengan keanegaragaman hayati tertinggi di dunia. Namun, baru sekitar 300 jenis tanaman yang sudah diteliti atau dimanfaatkan untuk pengobatan, itu pun kebanyakan baru sampai level jamu.
Evi mengatakan belum banyak tanaman rempah yang dicoba dikembangkan untuk menjadi obat modern. Tahapannya pun sangat panjang, karena harus melewati uji empiris yang setidaknya tercatat sudah tiga generasi tanaman obat atau rempah tersebut bisa mengobati.
Selanjutnya, kata Evi, calon obat tersebut harus melewati uji in vitro dan in vivo sebelum akhirnya harus melalui uji klinis. Tahapan uji klinis pun tidak mudah karena setidaknya ada empat tahap dengan kisaran diujikan ke 100 orang. "Jadi jalannya masih sangat panjang," ujar Evi.