REPUBLIKA.CO.ID, Oleh Ustadz Bachtiar Nasir
Pernikahan adalah hubungan sakral. Hubungan tersebut harus didasari dengan kesamaan agama menurut kesepakatan ulama. Bagaimana jika misalnya, dalam seorang istri masuk Islam sementara suaminya masih non-Muslim? Apakah harus dilakukan perceraian?
Para ulama sepakat bahwa jika seorang wanita non-Muslim yang memilih untuk beriman dan masuk Islam, sedangkan suaminya masih tetap dalam kekafirannya, haram bagi wanita itu berhubungan dengan suaminya, dan ia tidak boleh membiarkan suaminya menggaulinya.
Hal itu sesuai dengan firman Allah SWT, “Hai orang-orang yang beriman, apabila datang berhijrah kepadamu perempuan-perempuan yang beriman maka hendaklah kamu uji (keimanan) mereka. Allah lebih mengetahui tentang keimanan mereka; maka jika kamu telah mengetahui bahwa mereka (benar-benar) beriman maka janganlah kamu kembalikan mereka kepada (suami-suami mereka) orang-orang kafir. Mereka tiada halal bagi orang-orang kafir itu dan orang-orang kafir itu tiada halal pula bagi mereka.” (QS al-Mumtahanah [60]: 10).
Namun, para ulama berbeda pendapat tentang waktu perceraian antara suami istri tersebut. Sebagian ulama berpendapat, dengan masuk Islamnya sang istri maka putuslah hubungan pernikahan itu meskipun kemudian sang suami mengikuti masuk Islam. Dan, sang suami tidak boleh kembali kepada istrinya itu, kecuali dengan akad nikah baru setelah keislamannya. Ini adalah pendapat Mazhab Zhahiri.
Sedangkan, menurut Mazhab Maliki, Syafi’I, dan Hambali, jika istri masuk Islam sebelum berhubungan dengan suaminya, terjadi perpisahan ketika sang istri tersebut masuk Islam. Adapun jika Islamnya sang istri itu setelah adanya hubungan dengan suaminya maka perpisahan antara keduanya itu menunggu habisnya masa idah istri. Jika sang suami masuk Islam juga sebelum habis masa idah istrinya maka mereka tetap menjadi suami istri. Dan, jika sang suami tidak masuk Islam juga sampai habis masa idah istrinya maka terjadilah perpisahan antara mereka berdua.
Dan, ada juga ulama yang berpendapat bahwa jika seorang istri masuk Islam sebelum suaminya maka pernikahan mereka tidak batal dengan keislamannya itu. Tetapi, pernikahan mereka menjadi tergantung. Jika suami masuk Islam sebelum habis masa idah sang istri maka sang istri tetap menjadi istri dari suaminya. Sedangkan, jika masa idahnya habis, sang istri boleh menikahi siapa pun atau jika mau ia boleh menunggu suaminya sampai kapan pun. Jika suaminya masuk Islam, ia tetap menjadi istrinya tanpa perlu akad nikah baru.
Ini adalah pendapat Ibnu Taimiyyah dan Ibnu Qayyim, juga pendapat al-Syaukani dan al-Shan’ani. Hal itu sesuai dengan apa yang terjadi terhadap anak Rasulullah SAW. Ibnu Abbas RA meriwayatkan bahwa Rasulullah SAW mengembalikan anak perempuannya (Zainab) kepada Abu al-Ash bin Rabi’ setelah dua tahun dengan pernikahan awal mereka. (HR Tirmizi, Abu Daud, Ibnu Majah, dan Ahmad).
Maka, hendaknya sang istri yang masuk Islam itu mengajak dan berdakwah kepada suaminya dengan cara yang baik agar mau menerima Islam. Dan, menerangkan kepada suaminya bahwa jika suaminya tetap tidak mau meninggalkan agamanya dan masuk Islam, ia akan meninggalkannya karena diharamkan bagi seorang wanita Muslimah untuk berada di bawah suaminya yang kafir, sebagaimana ditegaskan dalam ayat di atas.