REPUBLIKA.CO.ID, GAZA -- Bagi Muhammad al-Mabhouh, bulan suci Ramadhan telah membawa sedikit kelegaan. Setelah dua bulan tak bekerja selama penutupan virus corona, pria 28 tahun itu akhirnya dipanggil kembali untuk membuat qatayef, pancake manis yang diisi kacang atau keju yang merupakan tradisi Ramadhan.
"Saya menunggu dengan tidak sabar karena saya tahu musim qatayef akan membawa saya kembali bekerja," kata Mabhouh, yang digaji sekitar Rp 120 ribu per hari untuk menghidupi istri dan dua anaknya.
Bulan Ramadhan telah memberikan sedikit angin segar bagi warga Gaza di tengah wabah corona dan ancaman gejolak ekonomi. Pasalnya, otoritas setempat telah melonggarkan pembatasan fisik pencegahan corona sejak masuknya bulan suci Ramadhan.
Dilansir Washington Post, Rabu (6/5), restoran di Gaza diizinkan buka sebagian. Toko-toko camilan Ramadhan pun akhirnya dikunjungi pelanggan lagi meski mereka datang dengan menggunakan masker. Walhasil, banyak keluarga yang mengadakan kegiatan berbuka bersama dengan sanak familinya di rumah dengan membeli makanan.
"Dengan Ramadhan, aktivitas telah kembali. Palestina tidak bisa hidup tanpa Ramadhan," kata Mabhouh.
Kendati demikian, pejabat kesehatan di Gaza memperingatkan bahaya wabah corona masih belum berakhir di wilayah kantong kemiskinan yang dihuni sekitar 2 juta orang itu. Pejabat dari kelompok militan Hamas yang berkuasa, organisasi internasional, dan Pemerintah Israel yang mempertahankan blokade ketat terhadap Gaza memperingatkan wabah yang tidak terkendali akan membanjiri sistem kesehatan yang rapuh di Gaza.
Namun, hingga saat ini hanya 17 kasus virus corona yang dilaporkan di Gaza. Menurut para pejabat, hal itu karena ketatnya penutupan aktivitas bisnis dan aturan karantina sejak awal Maret lalu.
Langkah-langkah tersebut mencakup persyaratan bahwa para pelancong yang kembali ke Gaza harus menghabiskan 21 hari di pusat-pusat isolasi. Sejauh ini 4.500 orang telah menjani tes virus di pusat isolasi itu.
"Ini benar-benar bukti bahwa penahanan berhasil," kata Gerald Rockenschaub, yang menjalankan operasi Organisasi Kesehatan Dunia (WHO) untuk Gaza dan Tepi Barat dari Yerusalem. Dengan keberhasilan sejauh ini, Rockenschaub tidak keberatan untuk sedikit melonggarkan pembangunan asalkan disertai kedisiplinan masyarakat untuk menjaga jarak fisik, cuci tangan, dan tindakan perlindungan pribadi lainnya.
Adapun pelonggaran pembatasan terhadap restoran dimulai pada Ahad lalu. Kementerian Kesehatan Palestina mengizinkan restoran beroperasi dengan kewajiban memberi jarak antarpelanggan. Pelonggaran ini telah membuat Gaza sedikit kembali bergeliat meski masih jauh dibandingkan hari-hari biasa sebelum corona.
Manajer Lighthouse Restaurant, Emad al-Rayyes, mengatakan, sejumlah pelanggannya sudah kembali berdatangan. Walau hanya sekitar lima orang tiap malam, ia merasa senang.
“Sangat sulit bagi saya melihat tempat itu kosong tanpa orang. Saya merasa tidak enak kepada para pekerja,” kata Rayyes.
Geliat di Gaza juga tampak di industri tekstil. Industri ini mampu bertahan di tengah wabah corona karena beralih memproduksi masker yang permintaannya melonjak drastis. Belum lagi ada kebutuhan alat pelindung diri untuk tenaga medis di rumah sakit.
Pabrik milik Hassan Shehada (56) merupakan salah satunya yang beralih. Dia kini fokus memproduksi masker medis.
Sementara pabriknya sibuk berproduksi, Shehada bertambah lega karena bisa menikmati kebersamaan dengan keluarga seiring dilonggarkannya pembatasan. Kendati demikian, ia tahu itu hanyalah kebahagiaan yang sementara. Gaza masih harus berjuang keluar dari masalah-masalahnya, baik yang baru muncul maupun yang telah mengakar.
"Apa yang dibutuhkan Gaza adalah pekerjaan. Pandemi ini mungkin berakhir, tetapi krisis Jalur Gaza tidak akan berakhir dengan itu," katanya.