Rabu 06 May 2020 18:04 WIB

Menelusuri Kisah Perempuan Indonesia Pendiri Sekolah di Mekkah

Tika Ramadhini, peneliti pada Leibniz Zentrum Moderner Orient Berlin, menelusuri kembali jejak sejarah yang nyaris terlupakan tentang muslimah Indonesia pendiri sekolah perempuan pertama di Mekkah: Khairiyah Hasyim.

Rep: deutsche welle/ Red: deutsche welle
picture alliance/AP Photo/H. Jamali
picture alliance/AP Photo/H. Jamali

Dari arsip-arsip majalah tua di Institut Linguistik, Geografi, dan Etnologi Leiden dan berbekal pemahaman Bahasa Belanda tua, Tika Ramadhini mengumpulkan potongan cerita perjalanan muslimah Indonesia yang beribadah haji ke Mekkah. Ziarah ke Mekkah bagi masyarakat Hindia-Belanda memang telah popular sejak awal abad ke-14. Pada 1932, jumlah peziarah perempuan sudah mencapai 35% dari total seluruh haji yang datang dari Indonesia.

Saat itu Indonesia yang masih dalam kolonialisasi Belanda menduduki urutan kedua sebagai peziarah terbanyak setelah British-Hindia (Pakistan – Bangladesh kini). "Sudah banyak yang menulis hubungan antara Mekkah dan Nusantara tapi selalu tentang laki-laki. Tapi tentang perempuan, tidak pernah ada cerita detailnya, aku pun tertarik menggali lebih lanjut,” ujar Tika optimis. Konsulat Belanda di Den Haag dikunjunginya demi menelusuri arsip dari Konsulat Belanda di Jedah yang didirikan tahun 1873. Konsulat Belanda di Jedah mulanya didirikan untuk memantau pergerakan nasional yang mungkin timbul di kalangan Jawi(Jawa) saat melakukan ziarah ke Mekkah.

Tak pantang menyerah, Tika bertandang ke Jombang hingga Arab Saudi, menelusuri puing sejarah sekolah perempuan hingga riwayat hidup sang pendiri. Penelusuran Tika mulai membuahkan hasil, perempuan yang datang dari Indonesia ternyata tak sekedar menunaikan ibadah haji. Banyak dari mereka memilih menetap, mengikut suami, menuntut ilmu, dan mendirikan sekolah di Mekkah.

Nyai Khairiyah Hasim dan Jee Abdallah Falimban

Tika pun berkisah tentang Khairiyah Hasyim, anak kedua dari Kiai Haji Hasyim Ashari dan Nyai Nafiqah. Pendidikan Islam dan penguasaan kitab klasik seorang Khairiyah Hasyim didapatnya langsung dari sang ayah, sosok pendiri Nadhatul Ulama. Khairiyah lahir di Jombang tahun 1906, sempat menjadi pemimpin pesantren, menggantikan suaminya yang meninggal di usianya yang ke 27 tahun. 1938 Khairiyah pindah ke Makkah untuk menikah dengan ulama Jawi, K.H. Muhaimmin yang mengajar di Madrasah Darul Umum.