REPUBLIKA.CO.ID, JAKARTA -- Indonesia akan menyelidiki kemungkinan pelanggaran hukum terhadap anak buah kapal (ABK) WNI yang bekerja di kapal ikan berbendera China.
Kementerian Luar Negeri Indonesia tengah menindaklanjuti kasus kematian 3 ABK Indonesia di kapal tersebut yang terjadi akhir tahun lalu dan mayatnya telah dibuang (dilarung) ke laut.
“Pemerintah memberi perhatian serius atas permasalahan yang dihadapi anak kapal Indonesia,” kata Kemlu RI melalui pernyataan resminya, Kamis.
Menurut pernyataan itu, ketiga WNI yang tewas tersebut bekerja di kapal ikan Long Xin 605 dan Tian Yu 8 yang beberapa hari lalu berlabuh ke Busan, Korea Selatan.
Kedua kapal tersebut, kata Kemlu RI, membawa 46 awak kapal WNI yang 15 di antaranya berasal dari kapal ikan berbendera China lainnya, Long Xin 629.
Kemlu menjelaskan pada Desember 2019 dan Maret 2020 terjadi 3 kematian ABK Indonesia di kapal Long Xin 629 dan Long Xin 605 saat kapal sedang berlayar di Samudra Pasifik.
Kapten kapal menjelaskan keputusan melarung jenazah karena kematian tersebut akibat penyakit menular dan telah mendapat persetujuan dari awak kapal lainnya, kata pernyataan tersebut.
Kemlu RI akan memanggil Dubes China untuk Indonesia guna meminta penjelasan tambahan apakah pelarungan jenazah WNI tersebut sesuai ketentuan Organisasi Buruh Internasional (ILO).
Ada dugaan eksploitasi ABK
Menteri Kelautan dan Perikanan Edhy Prabowo mengatakan telah berkoordinasi dengan Kementerian Luar Negeri, Kementerian Perhubungan dan Kementerian Tenaga Kerja untuk menindaklanjuti kasus kematian ABK Indonesia ini.
“Kita telah berkoordinasi. Termasuk mengenai dugaan adanya eksploitasi terhadap ABK kita,” kata Menteri Edhy dalam pernyataan tertulisnya, Rabu.
Dia menjelaskan bahwa pelarungan jenazah di laut dimungkinkan dengan berbagai persyaratan yang mengacu kepada aturan ILO.
Menteri Edhy menambahkan pihaknya sangat prihatin terhadap dugaan adanya eksploitasi terhadap ABK Indonesia seperti telah dilaporkan beberapa media internasional.
“Mereka bekerja sehari selama 18 jam, bahkan salah satu ABK mengaku pernah berdiri selama 30 jam,” kata Menteri Edhy.
Dia menegaskan jika benar ada eksploitasi maka pemerintah Indonesia akan menyampaikan laporan ke otoritas pengelolaan perikanan di laut lepas.
Alasannya, kata Edhy, ada dugaan perusahaan yang mengirim ABK Indonesia tersebut telah melakukan kegiatan yang sama beberapa kali.
Menteri Edhy juga akan menemui ABK Indonesia yang berada di Korea Selatan dan meminta pertanggungjawaban perusahaan kapal yang mempekerjakan mereka.
“Kami juga akan mengkaji dokumen-dokumen para ABK kita. Termasuk kontrak-kontrak yang sudah mereka tandatangani,” kata dia.
Menurut Kemlu RI, KBRI Seoul berkoordinasi dengan otoritas setempat telah memulangkan 11 awak kapal pada 24 April lalu dan akan memulangkan 14 ABK lainnya pada 8 Mei besok.
Sementara 20 awak lainnya melanjutkan bekerja di kapal Long Xin 605 dan Tian Yu 8.
Kritik Migrant CARE
LSM perlindungan pekerja migran, Migrant CARE, memandang Kementerian Luar Negeri RI belum mengambil sikap tegas dalam kasus dugaan pelanggaran hak asasi manusia yang dialami ABK Indonesia di kapal berbendera China.
Migrant CARE juga mengkritik belum ada respons dari Kementerian Ketenagakerjaan dan Badan Pelindungan Pekerja Migran Indonesia.
LSM tersebut menilai respons Kementerian Luar Negeri RI bersifat normatif namun belum menukik pada pokok persoalan apakah sudah ada desakan bagi investigasi pelanggaran hak asasi manusia.
“Juga belum ada pernyataan tegas untuk memastikan pemenuhan hak-hak ABK tersebut,” kata Migrant CARE dalam rilis-nya.
Migrant CARE mendesak Kementerian Ketenagakerjaan dan Badan Pelindungan Pekerja Migran Indonesia untuk bersikap pro-aktif memanggil para agen pengerah ABK tersebut untuk meminta pertanggungjawaban perusahaan kapal.
Terlebih, kata organisasi tersebut, telah terbukti adanya pelanggaran HAM oleh perusahaan kapal tersebut yang harus diteruskan melalui mekanisme hukum yang berlaku.