REPUBLIKA.CO.ID, Oleh Fitriyan Zamzami
Saat dunia disibukkan pandemi, air di Laut Cina Selatan juga beriak lebih hebat dari biasanya. Saling kirim armada tempur antara Amerika Serikat (AS) dan Republik Rakyat China (RRC) kian menjadi-jadi. Apakah perang besar yang menjelang?
Konflik perairan yang sempat dijeda masa awal pandemi itu terpantik lagi pada 3 April lalu. Kala itu, kapal penjaga pantai RRC menenggelamkan kapal nelayan Vietnam di perairan Kepulauan Paracel yang disengketakan kedua negara. Delapan awak kapal nelayan Vietnam nyaris tenggelam akibat insiden tersebut.
Kemudian, pada 16 April, kapal survei China, Haiyang Dizhi 8 menyambangi dan mengusik lokasi eksplorasi migas West Capella yang dilakukan Petronas. Lokasi tersebut masuk 200 mil laut zona ekonomi eksklusif Malaysia dari Sarawak, namun juga diklaim China masuk dalam klaim meluas mereka di Laut Cina Selatan.
Pada 18 April, tindakan China kembali membuat geram negara-negara di tepian Laut Cina Selatan yang ikut mengklaim bagian yang dicaplok China. Beijing mengumumkan, mereka telah memasukkan sejumlah fitur di Kepulauan Paracel dan Spratly dalam distrik wilayah Hainan, sebuah pulau di ujung selatan China. Langkah itu dikecam karena sejumlah fitur yang dinamai tersebut merupakan pulau buatan China yang sedianya pembangunannya telah dilarang Mahakamah Internasional seturut gugatan yang dilayangkan Filipina 2016 silam.
Kami terus melihat tindakan agresif PLA di Laut Vietnam Utara. Dari mengancam kapal Angkatan Laut Filipina, penenggelaman kapal nelayan Vietnam, dan mengintimidasi eksplorasi migas negara lain.
Menyusul rerupa agresi tersebut, Amerika Serikat jadi punya alasan ikut campur di Laut China Selatan dan Laut China Timur. Dengan dalih menjalankan operasi kebebasan navigasi (Fonop). Sejak 20 April, kapal induk kelas ringan USS America yang membawa sejumlah pesawat tempur F-35 dikawal dua kapal tempur USS Bunker Hill dan USS Barry, melakukan manuver di Laut Cina Selatan dan wilayah Selat Taiwan. Utamanya di lokasi-lokasi sengketa. Australia ikut serta beberapa waktu kemudian untuk melakukan latihan perang.
Pada 30 April, giliran militer China yang melansir bahwa mereka telah melakukan operasi militer terkordinasi yang berhasil mengusir USS Barry dari Kepulauan Paracel. Angkatan Laut AS menyangkal bahwa pergerakan mereka diganggu militer China kala itu.
Pihak China berdalih, kapal AS telah melanggar batas di Kepulauan Spratly pada 29 April. Militer China juga menuding AS menerbangkan pesawat pengebom B-1B di atas Laut China Selatan dan Laut Taiwan pada 1 Mei.
Beberapa hari belakangan, situasinya kian panas. Pada Selasa (5/5) Global Times, corong Partai Komunis China secara terang-terangan melansir bahwa Tentara Pembebasan Rakyat China (PLA) akan melakukan latihan besar-besaran untuk menghalau "provokasi AS pascapandemi". Kapal induk, kapal perang, pesawat tempur, kapal anti bajak laut, seluruhnya dikerahkan dalam latihan militer itu.
Penyebutan nama negara secara langsung seperti itu biasanya jarang dilakukan terkait Laut China Selatan. Wei Dongxu, pengamat militer yang dikutip Global Times menuturkan bahwa USS Nimitz telah bersiap melakukan agresi militer di Laut Cina Selatan begitu pandemi selesai.
Sementara media Angkatan Laut AS, USNI melansir pada Kamis (7/5) bahwa USS Ronald Reagan yang berbasis di Yokosuka, Jepang, segera bertolak ke Laut China Selatan. "Kami terus melihat tindakan agresif PLA di Laut Vietnam Utara (nama yang dipakai Vietnam untuk Laut China Selatan). Dari mengancam kapal Angkatan Laut Filipina, penenggelaman kapal nelayan Vietnam, dan mengintimidasi eksplorasi migas negara lain," kata Menteri Pertahanan AS, Mark Esper di Pentagon, Selasa lalu.
Sejauh ini, belum ada lansiran resmi soal tindakan China di Laut China Selatan selama pandemi oleh pemerintah Indonesia. Meski begitu, sepekan lalu the New York Times melaporkan bahwa pada nelayan di Kepulauan Natuna kembali melaporkan hadirnya kapal penjaga pantai China yang mengusir mereka dari perairan yang diklaim Indonesia di Laut Natuna Utara (nama yang digunakan Indonesia untuk bagian Laut Cina Selatan tersebut.
Sejak lama, berbagai pengamat militer dan geopolitik telah memerkirakan bahwa Laut China Selatan yang direbutkan China dengan sejumlah negara ASEAN seperti Vietnam, Filipina, Malaysia, Brunie dan bisa jadi Indonesia, bakal menjadi medan tempur selanjutnya. Wilayah perairan tersebut selain kaya sumber daya alam, juga merupakan jalur pelayaran paling penting di dunia yang dilintasi berlaksa-laksa kapal tiap tahunnya.
China mengklaim penguasaan atas perairan tersebut berdasarkan klaim sepihak bahwa nelayan China sudah mengarungi laut itu sejak lama. Sedangkan negara-negara ASEAN berkukuh wilayah yang diklaim masuk zona eksklusif mereka berdasarkan Konvensi Hukum Laut PBB (UNCLOS) 1982.
Dalam tahun-tahun belakangan, agresi China di wilayah sengketa serta kengototan AS menjalankan navigasi bebas di perairan internasional jadi pemicu konflik. Potensi konflik itu juga diwarnai narasi perebutan hegemoni di kawasan Asia Tenggara.
Belakangan, eskalasi itu bukan hanya dipicu persoalan wilayah dan navigasi. AS dan China kian hari makin gencar saling menyalahkan soal penyebaran Covid-19. Meski mulanya merebak di Wuhan, Hubei, saat ini justru AS jadi negara paling terdampak Covid-19. Jumlah kasusnya sudah melampaui 1 juta kasus, dengan kematian melebihi 70 ribu jiwa. Sedangkan China bertahan di 82 ribu kasus dengan 4.600 kematian.
Presiden AS Donald Trump dan Menteri Luar Negeri AS Mike Pompeo bersikeras mereka memiliki bukti bahwa virus SARS-CoV-2 yang menyebabkan Covid-19 bocor dari laboraturium di Wuhan akhir tahun lalu dan akhirnya jadi pandemi. Mereka mendesak investigasi independen guna menyelidiki asal sesungguhnya Covid-19. AS juga menuding ada upaya menutup-nutupi wabah pada masa awal penyebarannya oleh pihak China yang membuat penyebarannya ke seluru dunia tak terkendali.
China juga bukannya tak punya andil dalam perang mulut soal asal virus. Sebelum klaim Trump dan Pompeo, juru bicara Kementerian Luar Negeri China, Zhao Lijian, menuding militer AS bisa jadi membawa virus ke Wuhan. Hal itu ia sampaikan lewat cuitannya di Twitter pada 12 Maret lalu. Belakangan, Global Times juga menggaungkan kelambanan pemerintah AS menangani Covid-19 sehingga menyebabkan begitu banyak kematian di AS.
2/2 CDC was caught on the spot. When did patient zero begin in US? How many people are infected? What are the names of the hospitals? It might be US army who brought the epidemic to Wuhan. Be transparent! Make public your data! US owe us an explanation! pic.twitter.com/vYNZRFPWo3
— Lijian Zhao 赵立坚 (@zlj517) March 12, 2020
Sementara di dalam negeri masing-masing, kedua pimpinan membutuhkan narasi baru guna mengalihkan sorotan atas kinerja mereka menangani pandemi. Presiden Trump tertekan dengan anjloknya elektabilitas menjelang pemilu. Sedangkan Presiden RRC Xi Jinping menghadapi kerisauan China atas kebijakan Partai Komunis di masa pandemi.
Sudah jamak di sejarah perpolitikan, pimpinan negara akan meludah ke luar untuk menjaga kekuasaan mereka. Bukan rahasia juga, wabah-wabah terdahulu kerap berkelindan dengan peperangan. Seperti wabah Justinian pada abad ke-6 Masehi memengaruhi perang Sasaniah-Bizantium, Kematian Hitam pada abad ke-15 memengaruhi perang kerajaan-kerajaan Eropa, juga Flu Spanyol yang mewabah pada akhir Perang Dunia I.
Pada akhirnya berbagai faktor menuju ke kesimpulan yang tak menyenangkan, bahwa ada potensi perang besar di depan mata.
Menteri Luar Negeri Retno Marsudi, dalam konferensi pers virtualnya bersama media internasional, menyampaikan bahwa Indonesia terus mengikuti perkembangan aktivitas di Laut Cina Selatan. “Indonesia menyatakan keprihatinannya terkait situasi terkini di Laut Cina Selatan, yang mana berpotensi meningkatkan ketegangan di saat upaya kolektif global sangat dibutuhkan dalam melawan Covid-19,” kata Retno Rabu (6/5).
Menlu Retno Marsudi menegaskan pentingnya menjaga perdamaian dan stabilitas di Laut China Selatan. “Termasuk memastikan kebebasan navigasi dan penerbangan, serta mendorong semua pihak untuk menghormati hukum internasional laut, khususnya Konvensi Hukum Laut PBB (UNCLOS) 1982,” kata dia.
Seruan tersebut, pada masa ini semacam melawan ombak. Tapi ia harus disuarakan, karena semisal perang terjadi, Indonesia akan terjebak di antara dua kekuatan besar tersebut. Saling telepon antarakepala negara belakangan mencerminkan, baik Donald Trump maupun Xi Jinping masih mencoba mencuri hati Presiden Joko Widodo dan rakyat Indonesia.
Presiden Trump, terlepas dari kekurangan di negara sendiri menjanjikan bantuan ventilator untuk Indonesia. Sedangkan Presiden Xi telah lebih dulu menekankan bahwa Indonesia merupakan mitra prioritas pada masa pandemi ini. Setelah selesai Perang Dingin, saat ini kiranya Indonesia kembali, seperti pesan Bung Hatta, dituntut berhati-hati mendayung di antara dua karang.