REPUBLIKA.CO.ID, BEKASI - Direktur Eksekutif Migrant CARE Wahyu Susilo mengatakan apa yang dialami oleh para anak buah kapal (ABK) Indonesia di kapal pencari ikan berbendera China adalah bentuk dari pelanggaran hak asasi manusia. Para ABK itu terenggut kebebasannya, bekerja dalam kondisi tidak layak, tidak mendapatkan hak atas informasi, hingga hak yang paling dasar yaitu hak atas hidup pun terenggut.
Hari-hari ini di media sosial dan media massa telah beredar secara viral video yang menggambarkan penderitaan para pekerja migran Indonesia yang bekerja sebagai ABK di kapal pencari ikan Long Xin 605, Long Xin 629 dan Tian Yu 8. Semua berbendera Republik Rakyat Tiongkok. Kapal tersebut beroperasi berpindah-pindah tempat melintasi negara.
Menurut Wahyu kondisi ini makin memperlihatkan kondisi pekerja migran Indonesia, terutama yang bekerja di sektor kelautan, berwajah muram.
"Sebelumnya, seperti yang kita ketahui, ribuan pekerja migran Indonesia yang bekerja sebagai ABK di kapal-kapal pesiar juga menjadi korban penularan Covid-19, baik tertular penyakitnya maupun kehilangan pekerjaannya. Menurut catatan BP2MI, sudah lebih dari 6000 ABK mengalami pemutusan hubungan kerja," ujar Wahyu Susilo dalam keterangan tertulis yang diterima di Jakarta, Kamis.
Kerentanan pekerja migran Indonesia di sektor kelautan dan perikanan memang bukan hal yang baru. Dalam Global Slavery Index yang dikeluarkan Walk Free tahun 2014-2016 juga menempatkan pekerja migran di sektor kelautan dan perikanan (terutama sebagai ABK di kapal pencari ikan) sebagai praktik perbudakan modern yang terburuk.
Dalam pemeringkatan ini, terhitung ada ratusan ribu ABK Indonesia di kapal-kapal penangkap ikan berada dalam perangkap perbudakan modern. Jika kondisi tersebut masih berlangsung sampai sekarang, maka situasi memang belum berubah dan ini tentu sangat menyedihkan.
Pemerintah Indonesia pernah terlibat dalam upaya memerangi perbudakan di sektor kelautan, terutama pada zaman Menteri Kelautan dan Perikanan Susi Pudiastuti. Namun inisiatif tersebut lebih banyak menyangkut soal praktik ini di perairan Indonesia, dipicu kasus perbudakan di kapal ikan di perairan Benjina, Kepulauan Maluku.
Namun inisiatif ini tidak meluas pada nasib pekerja migran Indonesia sebagai ABK di kapal-kapal pencari ikan berbendera asing yang beroperasi melintas negara. Inisiatif ini pun tidak mendapat dukungan signifikan dari Kementerian Ketenagakerjaan, Kementerian Perhubungan atau BNP2TKI (sekarang menjadi BP2MI).
Dalam perkara ini Kementerian Luar Negeri juga mengalami kesulitan dalam penanganan kasus terkait jurisdiksi perkara. Bisa dibayangkan jika kasus terjadi di kapal pencari ikan berbendera A, pemiliknya adalah warga negara B, dan kasusnya terjadi di lautan dalam otoritas negara C atau di laut bebas. Namun apa pun situasinya seharusnya negara hadir dalam memberikan perlindungan terhadap anak buah kapal Indonesia.
Kerentanan para pekerja migran Indonesia di sektor kelautan dan perikanan juga dipicu oleh ketiadaan instrumen perlindungan yang memadai sebagai payung perlindungan bagi mereka. Meskipun UU No. 18/2017 tentang Pelindungan Pekerja Migran Indonesia mengamanatkan adanya aturan khusus mengenai Pelindungan Pekerja Migran Di sektor Kelautan dan Perikanan, namun hingga saat ini aturan turunan tersebut belum terbit.
Bahkan terlihat ada kecenderungan berebut kewenangan antara Kementerian Perhubungan, Kementerian Ketenagakerjaan, dan Badan pelindungan Pekerja Migran Indonesia. Politik luar negeri dan diplomasi juga belum maksimal dalam memperjuangkan penegakan hak asasi pekerja migran di sektor kelautan dan perikanan, terkait dengan implementasi dan komitmen antarnegara dalam pelindungan pekerja di sektor kelautan.
Dalam kasus dugaan pelanggaran hak asasi manusia yang dialami ABK Indonesia di kapal berbendera Republik Rakyat Tiongkok, Kementerian Luar Negeri RI telah mengeluarkan sikap namun hingga berita ini dibuat belum ada respons dari Kementerian Ketenagakerjaan dan Badan Pelindungan Pekerja Migran Indonesia.
"Migrant CARE menilai respons Kementerian Luar Negeri RI bersifat normatif namun belum menukik pada pokok persoalan apakah sudah ada desakan bagi investigasi pelanggaran hak asasi manusia, juga belum ada pernyataan tegas untuk memastikan pemenuhan hak-hak ABK tersebut," ujar Wahyu Susilo.
Migrant CARE mendesak Kementerian Ketenagakerjaan dan Badan Pelindungan Pekerja Migran Indonesia untuk bersikap proaktif memanggil para agen pengerah ABK tersebut (berkoordinasi dengan Kementerian Perhubungan) untuk meminta pertanggungjawaban korporasi. Apalagi ditemukan pelanggaran hukum harus diteruskan melalui mekanisme hukum yang berlaku.