REPUBLIKA.CO.ID, JAKARTA -- Tepat 37 tahun lalu, ribuan penonton yang hadir di Brondby Hallen tak jauh dari ibu kota Denmark Kopenhagen, dipaksa menahan napas kala dua pebulu tangkis Indonesia bertarung sengit dalam partai final Kejuaraan Dunia Bulu Tangkis 1983. Laga All Indonesian Final itu menghiasi banyak laporan media asing.
Dalam final Kejuaraan Dunia ketiga itu, Icuk Sugiarto, seorang pebulu tangkis muda Indonesia sukses menumbangkan seniornya yang jauh lebih berpengalaman dan bertabur prestasi di kancah internasional, Liem Swie King, dengan skor 15-8, 12-15, 17-16. Kantor Berita Prancis AFP mencatat partai final tersebut sebagai "pertarungan terbesar dalam bulu tangkis dunia".
Surat sabar Singapura the Straits Time menyebutnya sebagai "pertarungan yang akan masuk dalam sejarah bulu tangkis sebagai salah satu pertandingan terbaik yang pernah ada".
All Indonesian Final tersaji setelah Icuk dan King sukses melewati wakil-wakil China, Denmark dan India yang saat itu merupakan kubu-kubu kuat berbagai ajang tepok bulu dunia. Jagoan Denmark, Morten Frost Hansen, yang kala itu dianggap sebagai pemain terkuat Eropa sukses disingkirkan Icuk di babak perempat final, sementara King menghentikan perlawanan wakil China, Chen Changjie.
Lantas di semifinal Icuk bangkit untuk menaklukkan pebulu tangkis top India, Prakash Padukone, 9-15, 15-7, 15-1, sedangkan Han Jian yang menjadi lambang keperkasaan China saat itu dibuat tak berkutik oleh King 15-9, 15-3.
Sebagian kalangan menganggap laga Icuk vs King sebagai sebuah antiklimaks lantaran kedua kompatriot itu tampak bermain lebih santai tak seganas di babak-babak sebelumnya.
Kendati demikian, anggapan itu patut dibuang ke keranjang sampah, sebab tak ada yang santai dari bertarung selama satu jam 33 menit, memecahkan rekor durasi, untuk menentukan pemenang sebuah pertandingan satu lawan satu. Durasi yang panjang itu tidak lepas dari penggunaan format lama berupa sistem skor 15, best of three dan deuce at 13 and 14.
King mengambil poin set pertama lewat skor 15-8 dalam 21 menit dan pertarungan berangsur menjadi ketat pada set berikutnya diwarnai reli panjang dan upaya kedua atlet menjaga konsistensi permainan. Sayang, kesalahan yang banyak dilakukan King membuat dia harus melewatkan peluang dan Icuk merebut set kedua 12-15.
Set ketiga yang menjadi penentu menjadi gim yang menegangkan. Icuk dan King terus saling berkejaran-kejaran skor mengundang decak kagum para penonton. Terkadang mereka bertepuk tangan panjang atau terhenyak hening karena pertandingan yang berjalan begitu menegangkan.