REPUBLIKA.CO.ID, Dalam kondisi yang menyebabkan wajib mandi besar seperti misal mimpi basah di siang hari, apakah mandi besar ketika puasa, tetap harus membasahi sekujur tubuh termasuk kepala?
Prof Abdul Karim Zaidan dalam karyanya yang berjudul al-Mufashhal fi Ahkam al-Mar’ati menjelaskan topik ini seperti ditegaskan di surah al-Maidah ayat ke-6. “Dan jika kalian dalam keadaan junub, maka mandilah.”
Maka, hendaknya meratakan seluruh air sebisa mungkin ke bagian-bagian yang tersembunyi, seperti di lubang hidung dan mulut. Ini bisa lewat berkumur ataupun mengisap air ke dalam hidung, lalu segera mengeluarkannya.
Di kondisi tertentu, ketentuan ini bisa fleksibel, bila tidak memungkinkan karena faktor sakit, misalnya. Seperti, ada luka di bagian tubuh tertentu yang mewajibkan terhindar dari air. Maka, cukup mengusap halus bagian tersebut.
Prof Abdul Karim menjelaskan proses mandi junub, yakni dimulai dengan membasuh kedua tangan dengan bersih menggunakan sabun. Basuhlah (maaf) alat vital dan bersihkan noda-noda yang tersisa. Lalu, berwudhulah layaknya hendak sholat.
Sisakan membasuh kedua kaki sementara waktu hingga usai proses mandi. Mulailah membasahi kepala dan tubuh diawali dari sisi sebelah kanan. Menyusul kemudian sisi kiri tubuh Anda. Lakukan langkah ini sebanyak tiga kali.
Jangan lupa, berniat untuk bersuci dari hadas besar. Ratakan air ke seluruh anggota tubuh. Kemudian, basuhlah kedua kaki secara merata. Rentetan prosesi mandi junub di atas tidak berbeda jauh dengan cara mandi junub versi perempuan.
Bila lelaki, sudah tentu jelas, hendaknya meratakan air, termasuk rambut hingga ke akarnya dan bulu kumis atau jenggot. Bagaimana dengan perempuan yang berambut lebat. Apa hukum mengguyur dan meratakan keseluruhan rambutnya?
Prof Abdul Karim menguraikan ada dua kondisi yang berbeda dengan konsekuensi hukum yang tak sama pula. Pertama, jika Muslimah yang bersangkutan mandi besar akibat mimpi basah ataupun pascaberhubungan intim maka para ulama sepakat tidak wajib memijat, lalu meratakan (naqdh as-sya’r) air hingga merata ke rambutnya. Ini seperti hadis riwayat Ummu Salamah.
Di hadits itu, Ummu Salamah pernah bertanya langsung kepada Rasulullah apakah ia harus membasahi keseluruhan rambutnya secara total. Rasulullah menjawab tidak perlu melakukan hal itu bila disebabkan oleh mimpi besar/ bersenggama. Cukup dengan usapkan air tiga kali ke rambut dan mengguyur saja.
“Itu sudah cukup menyucikan,” sabda Rasul. Salah satu hikmah di balik ketidakwajiban tersebut, agar tidak membebani Muslimah. Ini mengingat frekuensi kedua aktivitas itu terkadang sering terulang.
Tetapi, para ulama berbeda pandangan bila mandi besar itu karena bersuci dari haid atau nifas. Menurut kubu yang pertama, wajib meratakan air ke seluruh rambut dari ujung hingga pangkal rambut. Pendapat ini disampaikan oleh al-Hasan, Thawus, dan sebagian ulama bermazhab Zhahiri, berikut sejumlah tokoh dari Mazhab Hanbali.
Pendapat mereka merujuk hadis riwayat Bukhari dari Aisyah. Di hadis itu, Aisyah memberitahukan bahwa dirinya tengah haid saat wukuf di Arafah. Usai berhenti dari haid, Rasul mengarahkan Aisyah agar segera mandi dan meratakan air ke seluruh bagian rambutnya. Dari ujung hingga akar. “Ratakan, lalu sisirlah,” kata Rasul.
Sedangkan, mayoritas ulama berpendapat, hukum meratakan air tersebut cukup sunah, tidak sampai pada level wajib. Opsi ini juga dipilih oleh sebagian ulama bermazhab Hanbali.
Menurut mereka, hadis Ummu Salamah itu, tidak hanya menyangkut mandi besar karena bersenggama ataupun mimpi besar. Tetapi, maksudnya juga mandi besar akibat nifas atau haid. Ini diperkuat pula dengan hadis riwayat Aisyah oleh Muslim. Hadis itu tidak menyebutkan kewajiban naqdh, seperti yang diklaim oleh kelompok pertama.
Konklusi:
Meratakan air ke rambut saat mandi besar akibat haid atau nifas
Wajib:
Al-Hasan, Thawus, dan sebagian ulama bermazhab Zhahiri, berikut sejumlah tokoh dari Mazhab Hanbali.
Sunah:
Mayoritas ulama dan sebagian ulama Mazhab Hanbali