REPUBLIKA.CO.ID, JAKARTA – Jalur Gaza telah diperebutkan selama berabad-abad oleh bangsa Palestina dan bangsa Israel. Penduduk Gaza yang mayoritas muslim pun dari waktu ke waktu telah mengalami penderitaan. Di saat umat Islam di negara lain bisa fokus beribadah di bulan Ramadhan, warga Gaza hidup dalam keterbatasan.
Berbeda dengan sebelumya, pada tahun ini umat Islam di Jalur Gaza juga menjalani Ramadhan di tengah wabah Covid-19. Sementara, pendudukan dan blokade Israel di Jalur Gaza masih terus berlanjut, sehingga krisis ekonomi pun semakin menjadi-jadi.
Warga Palestina berkumpul untuk mendapatkan makanan di Kota Gaza, Jalur Gaza, beberapa hari lalu. Mereka mengantri untuk mendapatkan sup yang ditawarkan secara gratis selama bulan suci Ramadhan.
Sebelum memasuki bulan suci Ramadhan, warga Palestina di jalur Gaza juga melakukan berbagai persiapan di tengah situasi ekonomi yang memburuk akibat pandemi Covid-19. Karena, umat Islam di Gaza biasanya memiliki tradisi khusus untuk menyambut bulan Ramadhan.
Setiap bulan Ramadhan, warga Gaza selalu mendekorasi rumah dan menghiasi jalan-jalan dengan lampu lentera hias. Namun, pada tahun ini warga Gaza tidak bisa melakukan tradisi tersebut lantaran adanya Covid-19.
Salah seorang penjual lentera di pasar al-Zawia di kota Gaza, Ibrahim al-Jamal mengatakan, setiap akan datang bulan Ramadhan pasar biasanya selalu ramai dengan anak-anak dan orang tua untuk membeli lentera.
Namun, menurut dia, pada Ramadhan tahun ini tidak ada suasana yang meriah seperti itu lagi. Anak-anak di Gaza tidak diizinkan pergi ke pasar untuk membeli lentera karena keadaan darurat, dan sebagian besar keluarga memang tidak mampu membelinya di tengah situasi Covid-19.
Gaza telah mengumumkan dua kasus pertama virus Covid-19 sejak 22 Maret lalu. Mereka adalah warga yang baru saja kembali dari Pakistan. Dalam penanganan Covid-19, Organisasi Kesehatan Dunia (WHO) pun menyadari minimnya fasilitas karantina di Gaza.
Menurut WHO, Gaza hanya memiliki 60 mesin pernapasan dan 45 di antaranya telah digunakan. WHO telah bekerja sama dengan otoritas Israel untuk mengimpor peralatan dan pasokan yang sangat dibutuhkan dari donor Internasional.
Tidak Asing dengan Lockdown
Lockdown mungkin istilah baru yang kini sedang ramai digunakan media dan berbagai negara di seluruh dunia di tengah pandemi Covid-19. Lockdown identik dengan penutupan suatu wilayah. Namun, warga Gaza tidak asing dengan istilah karena mereka telah menjalaninya selama lebih dari satu dekade.
Warga Gaza selama ini tidak diperkenankan melakukan perjalanan ke luar negeri karena adanya blokade Israel. Warga Gaza akhirnya juga terbiasa bekerja jarak jauh dengan bantuan telekonferensi. Metode telekoferensi ini biasa digunakan warga Gaza yang bekerja di sektor teknologi.
Karena blokade selama bertahun-tahun itu, warga Gaza pun bisa memahami situasi Covid-19 yang terjadi di negara-negara dunia saat ini. Mereka berharap blokade terhadap Gaza segera berakhir. Demikian juga dengan virus Covid-19 yang melanda dunia.
Di tengah blokade, perseteruan di dalam politik Palestina, serta serangan Israel membuat sistem kesehatan Gaza juga lemah. Sistem tersebut tidak akan mampu berurusan dengan ratusan atau ribuan kasus Covid-19.
Tidak ada perlengkapan medis dan pakaian pelindung memadai bagi para pekerja medis di sana. Kini, hanya ada 62 alat bantu pernapasan di seluruh Gaza. Mereka juga hanya memiliki dua paket alat tes virus Covid-19 yang hanya cukup untuk memeriksa 190 orang.
Otoritas Palestina telah berupaya keras untuk mengatasi pandemi Covid-19 di tengah sumber daya yang terbatas dan lemahnya sistem perawatan kesehatan. Juru Bicara Pemerintah Palestina Ibrahim Melhim mengatakan, pemerintah menjalankan multistrategi untuk mencegah penyebaran virus Covid-19.
Melhim menyatakan, Otoritas Palestina dan Israel telah membangun koordinasi yang baik untuk mencegah penyebaran virus korona. Namun, Israel masih menolak untuk mengeluarkan dana yang dipotong dari pajak rakyat Palestina. Dana tersebut sangat dibutuhkan Palestina untuk meningkatkan kemampuan dalam memerangi wabah virus korona.
Pemerintah Palestina juga memantau situasi di Jalur Gaza yang dikepung. Jalur konflik tersebut berpotensi menularkan virus karena warga Palestina biasanya ada yang melakukan perjalanan ke Mesir atau bekerja di Israel.
"Kami bertempur di dua front: satu melawan pandemi dan lainnya melawan pendudukan militer brutal Israel. Tentara Israel dan pemukim Yahudi ilegal masih melakukan penutupan terus-menerus, dan melakukan serangan terhadap warga sipil, yang mempersulit upaya kami dalam memerangi pandemi, " kata Melhim beberapa waktu lalu.
Pemerintah Qatar kemudian menyumbangkan 10 juta dolar AS dan Kuwait memberikan bantuan keuangan darurat sebesar 5,5 juta dolar AS kepada Palestina untuk mengatasi wabah virus korona. Melhim mengatakan, rakyat Palestina menghargai semua bantuan dari negara-negara Arab.
Keterbatasan Air Bersih
Komisi Ekonomi dan Sosial PBB untuk Asia Barat (ESCWA) turut menyoroti kondisi di Jalur Gaza yang telah diblokade selama 14 tahun. ESCWA menyebut dari sepuluh rumah tangga di sana, hanya satu yang memiliki akses air bersih, sehingga bersiko tertular Covid-19. Kehidupan warga Gaza semakin sulit karena blokade yang diterapkan Israel.
ESCWA mengungkapkan, sekitar 74 juta orang di negara-negara Arab berisiko terinfeksi Covid-19 karena mereka tak memiliki akses ke fasilitas cuci tangan dasar. Sementara, mencuci tangan dengan sabun dan air merupakan salah satu cara efektif mencegah penularan Covid-19.
ESCWA memperkirakan kebutuhan air bagi setiap warga Arab akan meningkat antara saembilan hingga 14 liter per hari. Jika dikalkulasi, diperlukan 4 juta sampai 5 juta meter kubik air untuk memenuhi kebutuhanrumah tangga.
Ketiadaan akses ke fasilitas cuci tangan dasar diperburuk oleh pasokan air pipa yang tidak memadai di 10 dari 22 negara Arab. ESCWA menyebut hampir 87 juta orang di wilayah Arab juga tidak memiliki akses ke sumber air minum yang lebih baik di rumah-rumah.
Saat ini, negara-negara Arab masih menghadapi peningkatan kasus Covid-19. Yaman, Suriah, dan Palestina adalah beberapa negara yang dianggap rentan terhadap wabah Covid-19. Suriah dan Yaman saat ini juga masih dibekap peperangan. Sementara, Palestina berada di bawah pendudukan Israel.