REPUBLIKA.CO.ID, Mulanya, dia merupakan anak seorang pengurus kelenteng. Keluarganya termasuk yang taat dalam menjalankan ritual agama Konghucu.
Dia adalah Ku Wie Han. Anak sulung dari dua orang bersaudara ini putra dari Ku Hieka, berasal dari Surabaya, Jawa Timur. Adapun ibundanya, Jong Khioen Lin, merupakan perantauan asal Sumedang, Jawa Barat. Keduanya bertemu di Bandung. Menurut dia, kakek dan neneknya masih tergolong orang-orang asli Tionghoa yang mengadu nasib ke Indonesia, sehingga menjadi warga negara ini.
Ku Wie Han dan adik laki-lakinya, Ku Kie Fung, ditempa dengan agama Konghucu sejak kecil. Bagaimanapun, orang tuanya memasukkan kakak beradik itu ke lembaga pendidikan formal Nasrani. Sejak mereka duduk di bangku taman kanakkanak (TK) hingga sekolah menengah atas (SMA). Alhasil, keduanya ikut mempelajari agama Katolik. Malahan, tak jarang mereka turut dalam berbagai kegiatan di gereja.
Ku Wie Han mengenang, pertama kali memperhatikan agama Islam sejak pamannya berkunjung ke rumah pada 1979. Sang paman bernama asli Jong Jun Kiang. Akan tetapi, sejak menjadi Muslim, namanya menjadi Muhammad Yamien. Ibunda Ku Wie Han merupakan kakak kandungnya.
"Saya waktu itu masih berusia 10 tahun. Paman datang karena ada suatu atau beberapa urusan sehingga tinggal sementara di rumah kami. Oleh karena ibadah yang dia lakukan berbeda dengan kami, ka mi yang masih anak-anak pun bertanya-tanya. Di situlah saya mulai mengenal Islam darinya," ujar dia sebagaimana dikutip dari arsip Harian Republika.
Ku Wie Han kecil memang selalu ingin tahu. Suatu hari, dia menyaksikan sang paman melakukan gerakan-gerakan tertentu yang belakangan diketahuinya sebagai sholat. Usai berdoa, pamannya itu pun menyadari, ada dua anak kecil yang sedari tadi memperhatikannya. Maka, Muhammad Yamien dengan sabar dan hati-hati menjelaskan ihwal Islam kepada para keponakannya itu. Ku Wie Han mengingat, pamannya bercerita dengan bahasa yang lugas, tetapi mudah dipahami anak-anak.
Kebetulan, saat itu bulan suci Ramadhan. Yamien pun pada siang hari tidak pernah tampak makan atau minum. Ku Wie Han kecil dan adiknya akhirnya mengetahui, orang Islam berpuasa sejak pagi hingga petang. Selain itu, kaum Muslim seperti paman mereka juga mengisi waktu malam dengan sholat Tarawih yang kemudian disusul sahur tiap menjelang fajar
Uniknya, kenang Ku Wie Han, Dia waktu itu sampai-sampai mengikuti pamannya untuk sholat lima waktu dan bahkan berpuasa. Adiknya pun melakukan hal yang sama.
Lama kelamaan, ayahnya mengetahui tingkah kedua bocah tersebut. Kakak beradik itu sudah mulai mempelajari agama Paman Yamien. Akan tetapi, menurut Ku Wie Han, ayahnya tidak langsung mengetahui informasi tersebut, tapi diberi tahu sopir keluarga.
Sebagai anak-anak, Ku Wie Han saat itu belum menyadari ayahnya kurang suka dengan tindakannya, meniru-niru sang paman beribadah Islam. Dia waktu itu hanya mengetahui, pamannya tidak lagi singgah di rumah.
Barulah pada waktu remaja, Ku Wie Han menilai, ada kekhawatiran dari ayahnya tentang pengaruh Paman Yamien kepada keluarganya. Singkat cerita, Ku Wie Han dan adiknya pun kembali pada kebiasaan lama.Mereka melanjutkan rutinitas ibadah, baik ke gereja maupun kelenteng.
Suatu ketika, kondisi fisik Ku Hieka turun drastis, sehingga harus dilarikan ke rumah sakit. Menurut hasil diagnosis dokter, ayahanda Ku Wie Han tersebut mengidap penyakit diabetes akut. Maka dari itu, Ku Hieka mesti dirawat selama satu bulan.
Hari berganti hari. Ku Hieka ternyata tak kunjung pulih. Suatu malam, keadaannya tak tertolong lagi. Ku Wie Han mengenang, malam itu dirinya menyaksikan sang ayah menghadapi sakaratul maut.
"Hati saya hancur dan sedih karena penderitaan yang dialami ayah saya. Muncul perasaan penyesalan dalam hati karena jauh dari Tuhan. Dan saya sendiri merasa ketakutan jika harus dipanggil Tuhan saat itu juga," kisah dia.
Ku Hieka meninggal dunia saat Ku Wie Han berusia 16 tahun. Dalam umur kisaran remaja itu, dia mengalami syok terhadap kematian. Ku Wie Han mulai banyak merenung, betapa manusia membutuhkan Tuhan karena hanya Dia yang memegang tiap nyawa.
Kesadarannya kian menebal untuk menjadi religius. Dia pun gemar mempelajari berbagai ajaran agama. Awalnya, Ku Wie Han muda mendalami ajaran-ajaran yang selama ini dekat dengannya: Buddha, Taoisme, dan Kristen.
Suatu peristiwa pada 1987 mengubah jalan hidupnya. Saat itu, Ku Wie Han berjumpa dengan kawan lamanya yang baru kembali dari Singapura. Ternyata, sahabatnya itu sudah memeluk Islam. Setelah melepas kangen, keduanya membahas topik tentang religiusitas. Ku Wie Han meyakini, agama penting untuk seorang manusia dalam menjalani kehidupan yang terbatas oleh kematian.
Sesudah itu, sahabatnya lantas memberikan sebuah buku kepadanya. Judulnya, Ku Lan Cing. Menurutnya, buku tersebut bagus untuk dipelajari bagi mereka yang ingin menemukan kedamaian spiritual.
Ada salah satu bab dalam Ku Lan Cing yang berjudul I Ke Liang Se. Ku Wie Han ingat betul, bab tersebut begitu menyentuh relung hatinya. Perasaannya begitu damai sekaligus haru saat membaca teks itu untuk pertama kalinya.
Beberapa hari kemudian, Ku Wie Han menceritakan pengalaman itu kepada sahabat yang memberikan buku tersebut. Akhirnya, dia mengetahui, buku tersebut adalah terjemahan dari Alquran, kitab suci Islam. Adapun I Ke Liang Se merupakan alih bahasa mandarin untuk surat Al Ikhlas.
Sang sahabat lantas menerangkan beberapa makna surat tersebut. Al Ikhlas menjelaskan tentang tauhid. Saat menyimak kata-katanya, Ku Wie Han langsung teringat wajah pamannya, Jong Jun Kiang alias Muhammad Yamien. Dahulu, Islam yang dipahaminya baru sebatas ritual-ritual. Kini, dia baru mengetahui intisari agama yang dibawa Nabi Muhammad SAW tersebut.
"Ternyata isinya (surat Al Ikhlas) sangat luar biasa hingga saya tertegun. Di situ, dikatakan bagaimana Islam. Bahwa Allah itu Satu, Esa, dan dijelaskan di sana segala sesuatu hanya bergantung kepadaNya. Jadi, tidak ada satupun yang tidak bergantung kepada Dia (Allah)," ujar Ku Wie Han mengenang.
Baginya, hanya dengan satu surah itu seseorang sudah mendapatkan informasi ten tang Tuhan secara detail dan jelas. Tidak ada irasionalitas. Justru, surat Al Ikhlas seakan-akan memanggil segenap manusia untuk menggunakan akal dan pikirannya tentang Sang Pencipta. Sejak saat itu, Ku Wie Han menjadi amat tertarik untuk mengkaji lebih dalam agama Islam.
"Saya kemudian mempelajari agama Islam dengan membeli berbagai buku tentang agama Islam, mulai dari akidahnya, ibadahnya, dan juga bagaimana akhlak dalam Islam," kata dia.
Semua upaya itu dilakukannya secara autodidak. Seiring waktu, Ku Wie Han mulai memantapkan hatinya. Dirinya siap untuk bersyahadat. Dengan suatu pertimbangan, dia lantas meminta bimbingan dari seorang pamannya. Seperti halnya Paman Yamien, Paman Hong Yun Kiang juga telah lama menjadi Muslim. Bahkan, jelas Ku Wie Han, saudara orang tuanya itu merupakan ketua Persatuan Islam Tionghoa Indonesia Cabang Jawa Barat.
Pada hari yang cerah, 12 Januari 1988, Ku Wie Han berkendara menuju Masjid Agung Bandung. Usai jamaah melak sanakan sholat, dia dibimbin Paman Hong Yun untuk melafalkan kalimat agung, Asyha duan Laa Ilaaha Illa Allah wa asyha du anna Muhammad Rasulullah. Turut hadir pula, Paman Yamien yang dahulu memperkenalkannya pertama kali kepada Islam.
Sejak saat itu, Ku Wie Han resmi menjadi orang Islam. Dia memilih nama baru, yakni Muhammad Kariem Abdurrahman.Bagaimanapun, dia hingga kini tetap akrab disapa dengan nama semula.
Setelah bersyahadat, pamannya kemudian mengantarkannya ke salah satu pesantren di Jalan Pejagalan, Bandung. Lembaga itu diasuh organisasi Persatuan Islam (Persis). Sepuluh tahun lamanya Ku Wie Han mengaji di sana. Bahkan, para kiai setempat menyertakannya dalam program kaderisasi dai. Alhasil, keluar dari sana ia didapuk sebagai seorang ustaz. Sejak saat itu, dirinya terjun ke dunia dakwah.