REPUBLIKA.CO.ID, JAKARTA -- Ibnu Khaldun dikenal luas sebagai ahli ekonomi. Ia juga sejarawan dan sosiolog ulung. Ide, gagasan, serta pemikirannya pada bidang tersebut masih berpengaruh hingga kini. Namun, kebesaran nama Khaldun juga terekam dalam jejak langkahnya selaku politikus andal.
Sejarah mencatat, Ibnu Khaldun menghabiskan sebagian hidupnya dengan menetap di berbagai wilayah serta mengabdi pada penguasa setempat. Momen pengembaraan kariernya dicatat secara rinci dalam risalah berjudul Kitab Al-'Ibar (Buku Sejarah Dunia).
Reputasi karya tersebut tidak kalah dengan Muqaddimah yang mengulas aspek sosial dan ekonomi. Kitab Al-‘Ibar merupakan sumbangsih penting dari tokoh bernama lengkap Abu Zayd Abd al-Rahman ibnu Muhammad ibnu Jabir ibnu Khaldun ini bagi kemajuan ilmu pengetahuan di seluruh dunia.
Ia terlahir di Tunis, Tunisia pada 1332. Dalam biografinya, Ibnu Khaldun mengatakan, nenek moyangnya berasal dari Hadramaut, Yaman. Sementara kakeknya yakni Ibnu Hazem, diyakini termasuk umat Islam paling awal yang berhasil mencapai Andalusia, Spanyol.
Pendidikan pertama didapat dari sang ayah yang juga ilmuwan. Ia juga mempelajari ilmu agama dan tata bahasa dari sejumlah guru terkemuka. Tak heran, sejak usia muda Khaldun telah mampu menghafal Alquran.
Beragam bidang ilmu juga dikuasainya, semisal hadis, retorika, filologi, maupun puisi. Ia melanjutkan pendidikan hingga usia 19 tahun. Kemudian ia merintis karier di pemerintahan Dinasti Hafsid sebagai petugas segel istana.
Sejak itulah, seperti ditulis Frances Carney Gies dalam artikel bertajuk The Man who Met Tamerlane, Khaldun banyak menemukan kelemahan di lingkungan pemerintahan. Namun, baru beberapa tahun kemudian ia punya kesempatan meninggalkan Tunisia.
Pada 1352, Khaldun mulai melihat tanda-tanda keruntuhan dinasti tersebut, terutama karena terus bersitegang dengan pesaingnya, yakni Dinasti Marinid di Maroko. Segera ia pergi, melakukan perjalanan ke Barat dan memilih menetap di Fez, Maroko.
Keputusan Khaldun untuk tinggal di kota pusat kekuasaan Dinasti Marinid itu berbuah petaka. Awalnya, ia dapat diterima di lingkup istana. Namun, sang penguasa, Abu Zaid, khawatir dengan keberadaannya yang mantan pejabat di dinasti saingannya dahulu. Maka, dijebloskanlah ia ke penjara.
Dua tahun kemudian, sepeninggal Abu Zaid, ia dibebaskan, lalu dipekerjakan di istana. Beberapa jabatan penting pernah diamanatkan kepada Ibnu Khaldun. Namun, instabilitas politik yang terus terjadi memaksanya hijrah. Kali ini, tepatnya pada 1362, ia pindah ke Granada.
Kedatangannya ke kota di Andalusia itu disambut hangat oleh penguasa setempat. Reputasi keilmuan Ibnu Khaldun membuatnya dihormati sehingga Sultan Muhammad al-Ahmar memintanya menjadi asisten wazir Ibnu al-Khatib.
Pada 1364, Sultan mengutusnya menjalankan misi diplomasi ke Sevilla. Saat itu, kedua wilayah sedang saling bertikai. Tugas Ibnu Khaldun meredakan ketegangan menuai kesuksesan setelah berunding dengan pemimpin Nasrani, Raja Leon I.
Namun, sekali lagi masalah politis memaksa Ibnu Khaldun pindah. Ia kembali ke Afrika Utara. Penguasa Dinasti Hafsid di Bougie (Bijaiah) kemudian menunjuknya sebagai pejabat perdana menteri ketika usianya menginjak 45 tahun.
Ia mengundurkan diri dari jabatannya beberapa tahun kemudian setelah sahabatnya, Ibnu al-Khatib, wafat. Ibnu Khaldun menetap di kastil Ibnu Salamah di dekat Oran, Aljazair. Di wilayah terpencil itu, ia berkarya dan menuliskan pengalamannya selama berkiprah di beberapa pemerintahan.
Maka lahirlah Kitab Al-‘Ibar, begitu pula Muqaddimah. Selain itu, beberapa karya lain juga berhasil dirampungkannya. Ibnu Khaldun tinggal di kastil tersebut selama empat tahun dari 1375 hingga 1379.
Kembali ke Tunisia
Didorong keinginan untuk memperluas cakrawala intelektualitasnya, Ibnu Khaldun berusaha memperoleh sumber-sumber kepustakaan yang penting. Ia memutuskan kembali ke Tunisia.
Di sana ia kian menekuni bidang ilmu dengan menulis dan mengajar. Pada 1382 ia kembali mengadakan perjalanan. Kali ini ke Tanah Suci Makkah untuk berhaji. Setelah itu, Ibnu Khaldun menjejakkan kaki di Kairo yang kondang sebagai salah satu kota ilmu di dunia Islam.
Penguasa Dinasti Mamluk membuka pintu lebar-lebar bagi Khaldun. Posisi sebagai kadi atau hakim agung disematkan padanya. Caroline Stone melalui tulisannya berjudul Ibn Khaldun, and the Rise and Fall of Empires, menyebut tokoh ini bertekad kuat memperbaiki kondisi negara dari aneka masalah, terutama korupsi dan intrik politik.
Dalam risalahnya, Kitab Al-‘Ibar, Khaldun membahas secara mendalam tentang administrasi pemerintahan. Sejalan dengan pengalamannya, ia telah menyaksikan era kejayaan dan keruntuhan berbagai dinasti. Karena itu, pada beberapa bagian buku, ia menuangkan pemikiran agar pemerintahan bisa bertahan dan efektif.
Khaldun menyebut, stabilitas politik merupakan kunci. Faktor penting agar hal itu terwujud yakni harmonisasi antara pejabat dan tokoh ulama. Ia juga menduga, sejumlah masalah seperti korupsi, moralitas, dan loyalitas bisa berpengaruh buruk terhadap roda pemerintahan.
Kajian sejarah tentang negara Arab bagian timur menjadi kontribusinya yang lain. Ia banyak bersandar pada sejarawan Muslim sebelumnya, di antaranya ath-Thabari dan Ibnu al-Atsir. Khaldun membahas tentang sejarah dan kondisi sosial negara-negara di Afrika Utara.
Karya itu menjadi rujukan penting pada bidang sejarah dunia hingga berabad-abad kemudian. Pada bukunya bertajuk Source of History, sejarawan Barat, Charton, menyebut Ibnu Khaldun sebagai perintis metodologi kajian historis.