REPUBLIKA.CO.ID, JAKARTA -- Manager Grup Epidemiologi Spasial, Eijkman-Oxford Clinical Research Unit, Iqbal Elyazar meminta pemerintah jangan terburu-buru mengklaim kasus positif terinfeksi virus corona SARS-CoV2 (Covid-19) di Indonesia menurun. Sebab spesimen yang diperiksa di Indonesia belum banyak.
Menurut Iqbal, total orang yang diuji Covid-19 di Indonesia belumlah sebanyak negara-negara lain seperti Italia, Amerika Serikat (AS) bahkan Vietnam. "Total orang yang diuji Covid-19 di Indonesia adalah 0,4 per 1.000 orang. Bandingkan dengan Italia yaitu 39 per 1.000 orang, AS yaitu 24 per 1.000 orang, Vietnam 2,7 per 1.000 bahkan negara tetangga Malaysia bisa 7 per 1.000," ujarnya saat webinar konferensi video dalam jaringan, Ahad (10/5).
Apalagi, ia menambahkan, populasi di Indonesia cukup banyak dan pemeriksaan yang telah dilakukan belum cukup seimbang untuk menilai situasi jumlah kasus positif Cirona sesungguhnya. Ia meminta pemerintah melihat dan membandingkan rasio pemeriksaan di Tanah Air dengan negara lain.
Kalau pemeriksaannya sudah tinggi seperti Vietnam, Malaysia mungkin Indonesia bisa mengklaim penurunan kasus. Karena itu, ia meminta pemerintah tidak terburu-buru dan bersabar. Apalagi, ia menambahkan, jumlah spesimen yang diperiksa memungkinkan lebih tinggi dibandingkan orang yang dites.
"Karena satu orang bisa diambil spesimennya lebih dari sekali, misalnya sebanyak dua kali. Jadi ini fluktuatif banget," katanya.
Terlebih, ia menyebut laporan harian kasus Covid-19 yang biasanya diumumkan pemerintah setiap sore berdasarkan per tanggal yang dilaporkan, bukan tanggal pemeriksaan. Meski data itu benar tetapi laporan tidak cukup menilai apakah laju epidemiologi Covid-19 di Indonesia sudah landai atau belum.
Karena itu, ia meminta pemerintah segera membuat kurva epidemiologi sesuai dengan standar epidemiologi. Ia menambahkan, kurva ini penting untuk menilai efektivitas pembatasan sosial berskala besar (PSBB) untuk memutus penularan Covid-19 baik secara kualitatitatif maupun kuantitatif. Ia menambahkan, kurva epidemiologi ini bisa membantu untuk alat analisis untuk menilai PSBB.
"Kurva ini bisa dibuat untuk analisis sepanjang datanya benar, kurvanya benar, dan cara blmembacanya benar," ujarnya.
Kendati demikian, pihaknya menyadari persoalan Negara ini bukan hanya tentang pemeriksaan melainkan juga Big Data management. Artinya, ia menambahkan, manajemen data yang dimiliki Indonesia belum rapi.
"Anda bisa bayangkan sampel diambil di fasilitas kesehatan, kemudian dikirim ke laboratorium Covid-19, hasilnya dikumpulkan ke Badan Penelitian dan Pengembangan Kesehatan (Litbangkes) Kemenkes sebagai otoritas, di satu sisi ternyata ada rumah sakit yang juga mengumpulkan data pasien. Jadi sistem data ini belum terintegrasi," ujarnya.
Sebelumnya Menteri Koordinasi Bidang Pembangunan Manusia dan Kebudayaan (Menko PMK) Muhadjir Effendy bersyukur, prediksi pertambahan drastis jumlah pasien Covid-19 di Indonesia tidak terjadi. Dia menilai, dari hari ke hari, data pasien positif Covid-19 semakin lemah dan jumlah pasien yang sembuh semakin banyak.
"Kita bersyukur karena angka kasus kita rata-rata masih rendah. Itu bisa dilihat dari grafik yang paling kanan yaitu kasus per hari kita masih di bawah 500 paling tinggi puncaknya," kata Muhadjir saat teleconference di Jakarta, Jumat (8/5/2020).