Senin 11 May 2020 07:43 WIB

Ketakutan Orang Tua Ketika Anak Kembali ke Sekolah

Pascapandemi kembali ke sekolah tidak sama seperti sebelumnya.

 Guru di sekolah di Hoorn, Belanda, menyiapkan ruang kelas untuk menyambut kembalinya anak-anak ke sekolah pada 11 Mei 2020. Untuk meminimalisir dampak Covid-19, kelas hanya akan diisi separuh murid dalam setengah pekan, dan separuh murid lainnya masuk ke sisa hari lainnya dalam sepekan.
Foto: EPA-EFE/OLAF KRAAK
Guru di sekolah di Hoorn, Belanda, menyiapkan ruang kelas untuk menyambut kembalinya anak-anak ke sekolah pada 11 Mei 2020. Untuk meminimalisir dampak Covid-19, kelas hanya akan diisi separuh murid dalam setengah pekan, dan separuh murid lainnya masuk ke sisa hari lainnya dalam sepekan.

REPUBLIKA.CO.ID, oleh Dwina Agustin, Shelbi Asrianti

Membawa anak-anak kembali ke ruang kelas mungkin tampak seperti langkah menuju keadaan normal setelah berminggu-minggu lockdown akibat virus korona. Beberapa orang tua namun masih memiliki kecemasan untuk merelakan anaknya bertemu dengan orang lain.

Baca Juga

Salah satu orang tua yang akan menghadapi itu di Vevey, Swiss, adalah Audrey Razama. Anaknya berusia lima tahun masuk sekolah kembali hari ini (11/5). Namun, dia memutuskan untuk tetap belajar di rumah karena khawatir putrinya bisa membawa pulang virus dan menginfeksi adik perempuannya yang memiliki masalah jantung.

"Tindakan pencegahan perlu diprioritaskan di tengah semua ketidakpastian ini," ujar perempuan berusia 32 tahun ini.

Sebelum Swiss, bulan lalu, orang tua di Denmark mengalami kecemasan serupa, sekolah dibuka kembali dengan banyak meja kosong. Prancis, Jerman, Belanda, dan Amerika Serikat juga berencana memulai kembali pendidikan.

Negara yang telah mencatat lebih dari 30.000 kasus dengan 1.500 kematian akibat virus korona ini melonggarkan karantina saat wabah mereda. Pejabat kesehatan Swiss mengatakan, anak-anak kecil jarang mengalami gejala Covid-19 yang parah dan jarang menginfeksi orang lain.

Pemerintah mengutip makalah ilmiah yang mendukung pandangannya bahwa anak-anak tidak mungkin menularkan infeksi antara satu sama lain atau membawanya pulang dari sekolah.

"Sebagian besar anak-anak dengan penyakit ini menularkannya melalui orang tua yang terinfeksi. Tidak ada bahaya dari anak-anak, bahkan untuk pasien atau kakek-nenek yang berisiko tinggi," kata ahli virus Daniel Koch pada bulan lalu.

Tapi, ketakutan orang semacam Razama perlu dipertimbangkan pemerintah. Meskipun tidak diketahui berapa banyak orang tua mengalami kekhawatiran, sebuah petisi daring untuk pejabat di Bern, termasuk Menteri Kesehatan Swiss, Alain Berset, dan Presiden Swiss, Simonetta Sommaruga telah mucul. Petisi ini mengumpulkan sekitar 21.200 tanda tangan sejauh ini.

Terlebih lagi, ahli epidemiologi matematika dari Bruno Kessler Foundation Italia, Marco Ajelli mengatakan, kemampuan anak-anak untuk menginfeksi orang lain perlu diteliti lebih lanjut. Hal ini berangkat dari masih banyak rahasia tentang virus korona.

Bahkan ketika sekolah tetap masuk di Swiss, kondisi tidak akan menjadi normal. Pemberian nilai telah dibatalkan, banyak sekolah membagi kelas menjadi dua, kehadiran siswa pun dipangkas menjadi hanya dua hari seminggu per kelompok, untuk mengakomodasi perubahan itu.

Perubahan cara belajar di sekolah ini coba dikebut oleh pemerintah pusat di Bern mendelegasikan sebagian besar pendidikan ke 26 wilayah. Wilayah-wilayah ini telah merancang pendekatan untuk membuka kembali dipandu oleh prinsip-prinsip yang ditetapkan oleh Kementerian Kesehatan nasional.

Wilayah seperti Zurich telah memutuskan bahwa anak-anak yang tidak berada di bawah karantina, tidak punya alasan untuk bolos kelas. Sedangkan guru dan staf dari kelompok berisiko dapat mengajukan izin untuk tidak ke sekolah.

Tapi, administrator di seluruh negeri juga mengatakan kepada orang tua yang anaknya mungkin memiliki kondisi kesehatan berisiko dapat mengajukan solusi individual. Mereka diharapkan berkonsultasi dengan dokter terlebih dahulu.

Beberapa orang tua mengatakan mereka masih merasa terpojok. Bahkan, beberapa orang tua memutuskan mengeluarkan anaknya dari sekolah yang ada di wilayah dengan kasus virus korona besar.

"Ini sangat rumit, terutama dengan gadis kecil saya yang berusia 5 tahun, untuk menjelaskan kepadanya bahwa dia tidak dapat memeluk gurunya," kata ibu dari dua anak di Jenewa, Marion Moussadek.

Swiss mensyaratkan kehadiran di sekolah selama 11 tahun, dan dalam keadaan normal orang tua menghadapi denda hingga 5.000 franc Swiss ketika tidak menaati itu. Namun, sebagian besar pejabat lebih menyukai pendekatan yang lebih lembut di tengah krisis.

"Bukan peran kita untuk mengancam orang tua. Kami berusaha meyakinkan mereka." kata perwakilan dari kantor pembelajaran Vaud Julien Schekter, dikutip dari Reuters.

Anak-anak di China sudah lebih dulu kembali ke sekolah dibandingkan anak-anak di Eropa atau Amerika. Bagi mereka, sekolah bukan lagi tempat yang sama seperti dulu.

Siswa berusia 17 tahun di Hangzhou, Jack Yang, mengatakan dulunya jam makan siang adalah waktu paling santai baginya. "Kita bisa ambil makanan favorit dan berbincang dengan teman. Sekarang kita duduk berjauhan dengan satu sama lain dan fokus ke makanan masing-masing, seluruh kantin sepi sekali," katanya, dikutip dari Bloomberg.

Greg Smith, kepala sekolah Shekou International School di Shenzen, China, mengatakan anak-anak dan orang dewasa mungkin menantikan bisa kontak dengan rekannya, duduk bareng, dan bersama-sama. "Tapi semua berubah sudah, anak-anak harus terbiasa dengan keadaan yang baru," katanya.

Di China, sebelum dibuka seluruh sekolah harus melalui inspeksi kesehatan publik. Susunan duduk di kelas harus direkonfigurasi agar memenuhi aturan pembatasan jarak fisik. Komisi Edukasi di Beijing memberlakukan penundaan jam sekolah menjadi pukul 09.30 dari pukul 08.00 agar anak-anak terhindar kepadatan pagi dan membantu anak-anak beradaptasi dengan rutinitas baru.

Juru Bicara Komisi Edukasi Li Yi, mengatakan diperlukan periode transisi psikologi bagi anak saat kembali ke sekolah. Anak harus diberi waktu beradaptasi kembali dari belajar di rumah dan kembali ke sekolah. Anak tidak bisa dipaksa langung kembali sekolah seperti sebelumnya.

Perusahaan riset pasar Ipsos MORI mengungkap kekhawatiran orang tua lewat jajak pendapat daring yang melibatkan 1.066 responden. Sebanyak 48 persen orang tua di Inggris mengaku tidak nyaman mengirim anak kembali ke sekolah usai pandemi.

Sebanyak 41 persen lainnya sangat nyaman atau cukup nyaman dengan kembalinya anak-anak mereka ke sekolah. Jajak pendapat juga mengungkap tanggapan orang-orang mengenai fase selanjutnya pembatasan sosial di Inggris.

Salah satu opsi yang didiskusikan pemerintah adalah konsep "gelembung sosial" yang memungkinkan orang-orang bertemu dengan kelompok kecil lain di luar rumah. Sebanyak 62 persen responden mengaku senang dengan kemungkinan tersebut.

Namun, banyak orang yang masih enggan terlibat aktivitas yang melibatkan banyak orang kalaupun corona sudah usai. Sebanyak 67 persen responden tidak nyaman dan ingin menghindari keramaian, juga acara musik dan pertandingan olahraga.

Ipsos MORI menyimpulkan, mayoritas responden sangat ingin berjumpa orang-orang terdekat. Namun, mereka belum nyaman melanjutkan kehidupan sehari-hari, terutama jika berhubungan dengan banyak orang, dikutip dari laman Grimsby Telegraph.

photo
Gejala terbaru Covid-19 menurut CDC AS. - (Republika)

BACA JUGA: Update Berita-Berita Politik Perspektif Republika.co.id, Klik di Sini
Advertisement
Berita Lainnya
Advertisement
Terpopuler
1
Advertisement
Advertisement