Senin 11 May 2020 11:42 WIB

Opini UAS; Ramadhan Mendidik Kita untuk Selalu Sadar

Puncak kesadaran itu adalah kematian.

Ustadz Abdul Somad me
Foto: Republika/Putra M. Akbar
Ustadz Abdul Somad me

REPUBLIKA.CO.ID, Oleh: Ustadz Abdul Somad (UAS)

Beberapa kali video itu saya ulang. Memperhatikan raut wajah pelaku saat kejadian. Kemudian, dibandingkan dengan saat meminta maaf. Baik pada kasus parodi lagu "Aisyah", prank sampah, Tiktok sholat, dan beberapa masalah sejenis. Saat peristiwa itu usai, pelaku seperti baru tersadar.

Keyword-nya adalah kata sadar. Sadar menurut Kamus Besar Bahasa Indonesia adalah merasa, tahu, ingat, mengerti dan siuman. Berarti, saat peristiwa itu terjadi pelaku tidak sadar. Sedang mengalami euforia; perasaan ekstrem, tidak rasional, pada emosi. Itu bisa terlihat pada pada raut wajah, body language, diperjelas lagi dengan beberapa ungkapan, "Saya akan menyerahkan diri jika follower tiga puluh ribu," atau, "Salah saya apa? Kucingnya kan masih hidup."

Betapa media sosial perlahan-lahan mengganggu kesadaran orang, jika tidak ingin disebut merusak kesadaran. Ketika masuk ke alam media sosial, orang menjadi sangat-sangat, sangat gagah melebihi Kevin Cosner dalam Dances With Wolves walau kenyataannya macam Tok Labu menjemur kain. Bisa sangat senang, atau sangat marah, atau sangat puitis. Tidak normal. Seperti terpukau, terhipnotis.

Salah satu misi kedatangan Islam adalah menjaga kesadaran. Karena itu, Islam mengharamkan khamar karena bisa menghilangkan kesadaran.

Islam mengajarkan manusia agar sadar atas segala tindakannya. Saat terjaga dari tidur, ia benar-benar sadar. Bukan antara sadar dan tidak. Kesadaran itu diuji dengan ucapan yang keluar dari mulutnya, "Alhamdulilladzi ahyana ba'da ma amatana wa ilaihin nusyur (segala puji bagi Allah yang telah menghidupkan kami yang sebelumnya mematikan kami. Kepada-Nya kami akan kembali)."

Ketika ke toilet, ia benar-benar sadar bahwa kaki yang masuk terlebih dahulu adalah kaki kiri dengan doa khusus. Saat minum, ia sadar bahwa tangan yang ia gunakan adalah tangan kanan.

Perputaran waktu ia disadarkan. Sadar saat terbit fajar. Sadar saat matahari mulai naik. Sadar saat matahari tergelincir. Sadar saat matahari mulai redup. Sadar saat matahari tenggelam. Sadar saat malam telah sempurna. Kesadaran itu diwujudkan dalam bentuk ucapan, gerakan, ingatan, dan doa dalam sholat-sholat wajib dan sunnah.

Bahkan, lebih halus dari itu. Seorang Muslim harus sadar atas setiap embusan napasnya. Saat berkunjung ke Syekh Muhammad Saifuddin al-Kurdi, saya tidak melihat mereka memegang tasbih seperti lazimnya majelis dzikir. Entah Syekh sadar dengan pikiran saya.

Ia pun berucap, "Kami tidak lagi menghitung dzikir dengan tasbih. Tapi, tarikan dan embusan napas itu diisi dzikir. Sehingga kita sadar." 

Hidup ini sebenarnya baru sampai pada level mencari kesadaran. Puncak kesadaran itu adalah kematian. Itu yang tebersit dari ungkapan:

الناس نيام فاذا ماتوا انتبهوا

"Manusia itu tidur (tidak sadar), ketika ia mati, barulah ia terjaga (sadar)," ucapan Sayyidina Ali yang terpahat di nisan Annemarie Schimmel.

Ramadhan mendidik kita untuk selalu sadar. Selalu waspada, takut tertelan sesuatu. Khawatir terpandang yang dapat membatalkan puasa. Sadar untuk tidak bicara aib orang lain.

Puncak kesadaran saat puasa adalah ketika menjelang finish, benar-benar sadar dan dipastikan yang terdengar itu adalah adzan maghrib dari masjid, bukan handphone. Selamat buka puasa.

BACA JUGA: Ikuti Serial Sejarah dan Peradaban Islam di Islam Digest , Klik di Sini
Advertisement
Berita Lainnya
Advertisement
Advertisement
Advertisement