REPUBLIKA.CO.ID, JAKARTA -- Hamzah bin Abdul Muthalib, paman Nabi Muhammad, berhasil melumpuhkan Thu'aimah in Adi, dalam Perang Badar hingga tewas. Kematian itu sangat membuat sedih keponakan Thu'aimah, Wahsyi bin Harb.
Wahsyi bin Harb dikenal juga dengan Abu Dasamah. Dia adalah hamba sahaya Jubair bin Muth’im, seorang bangsawan Quraisy. Karenanya, Wahsyi selalu menunggu waktu yang tepat untuk membalaskan dendam pamannya kepada Hamzah.
Tidak beberapa lama kemudian, kaum Quraisy mengambil keputusan untuk pergi ke Uhud untuk memerangi Nabi Muhammad SAW dan para sahabatnya yang telah membunuh kawan-kawan mereka pada saat Perang Badar. Dibentuklah sebuah pasukan besar yang dipimpin oleh Abu Sufyan bin Harb.
Abu Sufyan memutuskan untuk mengikutsertakan para wanita, yang keluarga mereka telah terbunuh dalam Perang Badar untuk menggelorakan semangat prajurit dalam berperang. Mereka ditempatkan di samping laki-laki untuk mencegah mereka agar tidak melarikan diri.
Di antara para wanita yang pertama-tama mendaftarkan diri adalah Hindun binti Utbah, istri Abu Sufyan bin Harb. Ayahnya, Utbah bin Rabfah dibunuh oleh Ubaidah bin Harits. Pamannya, Syaibah bin Rabi’ah tewas di tangan Hamzah bin Abdul Muthalib, dan saudaranya, Al-Walid bin Utbah mati di tangan Ali bin Abi Thalib.
Semuanya tewas di medan Badar. Karena itu dendam Hindun sangat besar terhadap kaum Muslimin, terutama Hamzah bin Abdul Muthalib.
Ketika pasukan Quraisy akan berangkat, Jubair bin Muth’im berkata kepada Wahsyi, “Wahai Abu Dasamah, maukah engkau bebas dari perbudakan''
“Bagaimana caranya" tanya Wahsyi.
“Bila engkau berhasil menewaskan Hamzah bin Abdul Muthalib, paman Muhammad yang telah membunuh pamanmu, Thu’aim bin Adi, maka engkau kubebaskan dari perbudakan." kata Jubair.
“Siapa yang menjamin kebebasanku bila aku berhasil?” tanya Wahsyi.
“Siapa saja yang engkau kehendaki. Akan kupersaksikan janjiku ini kepada seluruh masyarakat,” tegas Jubair.
Wahsyi pun setuju dengan perjanjian tersebut. Ia segera mengambil lembingnya dan berangkat bersama-sama dengan pasukan Quraisy. Ia berada di belakang pasukan bersama para wanita karena ia tidak terlalu mahir berperang. Hanya saja, Wahsyi memiliki kemahiran melempar lembing. Lemparannya tidak pernah meleset sedikit pun dari sasaran.
Setiap kali bertemu dengan Wahsyi, Hindun selalu melihat ke arah lembingnya yang berkilat-kilat kena sinar matahari, sembari berkata, “Wahai Abu Dasamah, sembuhkanlah luka hati kami. Tuntutkan bela dari Muhammad atas kematian bapak, paman, dan saudara kami.”
Ketika dua pasukan bertemu, Wahsyi keluar dari tenda dan mengincar Hamzah dengan diam-diam. Ia memang telah mengenalnya sebelum itu.
Tidak sulit bagi siapa pun untuk mengetahui siapa Hamzah bin Abdul Muthalib, karena dia selalu memakai bulu burung unta di kepalanya sebagai tanda kepahlawanan seperti lazimnya orang Arab waktu itu.
Memang, tidak lama kemudian, Wahsyi melihat Hamzah maju bagaikan unta kelabu, merobohkan lawn-lawannya dengan pedang tanpa hambatan. Tidak ada yang berani menghadang atau berdiri di hadapannya.
Sementara itu, Wahsyi berdiri di balik sebuah batu besar, menunggu Hamzah mendekat ke arahnya. Tiba-tiba seorang penunggang kuda pasukan Quraisy yang bernama Siba’ bin Abdul Uzza datang dan menantang Hamzah ke arah Wahsyi.
“Lawanlah aku, wahai Hamzah! Kemarilah!” tantang Siba’.
Hamzah menoleh lalu melompat ke arah Siba’. Tangannya bergerak memukulkan pedang. Sekali tebas Siba’ jatuh tersungkur bermandikan darah di hadapan Hamzah.
Wahsyi mengambil ancang-ancang dengan posisi yang tepat sambil membidikkan lembingnya. Setelah dirasa mantap, ia lemparkan senjata tersebut ke arah Hamzah. Lembing melesat ke depan dan tepat mengenai perut Hamzah bagian bawah, tembus ke selangkangannya.
Pahlawan Islam yang dikenal dengan ‘Singa Allah’ itu melangkah berat kira-kira dua langkah, kemudian jatuh dengan lembing bersarang di tubuhnya. Wahsyi tidak bergerak dari tempat persembunyiannya. Setelah yakin Hamzah benar-benar tewas, baru ia mendatangi tubuh Hamzah dan mencabut lembingnya lalu kembali ke perkemahan karena tidak ada kepentingan selain itu.
Pertempuran berkecamuk dengan sengitnya. Korban pun mulai berjatuhan. Tatkala tentara kaum Muslimin mengalami desakan hebat, Hindun dan beberapa wanita lainnya keluar dari perkemahan, lalu melangkah di antara mayat-mayat yang bergelimpangan.
Satu persatu ia bedah perut dan ia congkel mata mereka. Sedangkan hidung dan telinga, ia potong lalu dibuatnya menjadi kalung dan ia pakai. Hati Hamzah bin Abdul Muthalib ia kunyah dan muntahkan kembali.
Seusai pertempuran, Wahsyi kembali ke Kota Makkah bersama rombongan tentara Quraisy. Sampai di Makkah, ia pun dibebaskan oleh Jubair sesuai dengan janjinya. Sejak saat itu, Wahsyi bebas dari perbudakan dan merdeka.
Hari-hari terus berlalu. Kaum Muslimin yang berada di Madinah kian bertambah. Pasukan mereka semakin kuat dan besar. Semakin bertambah kekuatan kaum Muslimin, semakin besar kekhawatiran Wahsyi. Kegelisahan dan ketakutan semakin menghantuinya.
Tatkala kaum Muslimin berhasil menguasai Kota Makkah, Wahsyi melarikan diri ke kota Thaif mencari tempat yang aman. Namun hanya beberapa saat saja, penduduk Thaif pun menyatakan diri masuk Islam. Wahsyi bingung hendak lari ke mana.
Penyesalan datang menghinggapi dirinya. Bumi yang luas terasa sempit. Dalam keadaan seperti itu, seorang sahabat menasihatinya, “Percuma saja engkau melarikan diri, Wahsyi. Demi Allah, Muhammad tidak akan membunuh orang yang masuk agamanya dan mengakui kebenaran Allah dan rasul-Nya,” ujar sahabat tersebut.