REPUBLIKA.CO.ID, Jabal Uhud (Gunung Uhud) bukanlah deretan pegunungan nan luas layaknya barisan pegunungan di Indonesia. Tinggi Jabal Uhud hanya sekitar 1.050 meter. Namun, sabda Nabi yang menyatakan Jabal Uhud adalah bukit yang mencintai kita dan kita mencintainya, menjadi sandaran betapa berziarah ke bukit ini menjadi penting bagi setiap Muslim.
Jabal Uhud terletak di pinggir jalan raya. Sebelum ada pembangunan jalan oleh pemerintah Kerajaan Arab Saudi, wilayah ini selalu dilintasi setiap jamaah yang masuk ke Madinah ataupun menuju Makkah.
Namun, sejak tahun 1984, perjalanan jamaah haji dari Makkah ke Madinah atau dari Madinah ke Jeddah tidak melalui jalan lama, tetapi melalui jalan baru yang tidak melewati pinggir Jabal Uhud.
Warna batu kemerahan menunjukkan Jabal Uhud merupakan bukit tandus, jauh dari pengertian gunung nan hijau seperti di Indonesia. Di bukit inilah dulu darah para syuhada mengalir.
Menyimak catatan sejarah, Perang Uhud terjadi pada 15 Syawal di tahun ketiga Hijriah (sekitar Maret 625 M). Peperangan dipicu keinginan balas dendam kafir Quraisy seusai kekalahan mereka dalam perang Badar. Atas perintah Rasulullah, barisan pasukan Muslim pun menyongsong kaum kafir itu di luar Kota Madinah. Strategi pun disusun. Sebanyak 50 pasukan pemanah ditempatkan di atas Jabal Uhud dengan perintah untuk melakukan serangan apabila kaum Quraisy menyerbu, terutama pasukan berkudanya.
Perang pun berkobar. Dalam perang dahsyat itu, pasukan Muslimin sebenarnya sudah memperoleh kemenangan. Akan tetapi, mereka kemudian dipukul balik oleh tentara Quraisy, karena pasukan pemanah terpancing umpan musuh berupa harta-benda, perhiasan, dan jenis harta rampasan perang lainnya.
Pasukan berkuda Quraisy pimpinan Khalid bin Walid (sahabat Rasul yang saat itu belum memeluk Islam, Red) menyerang pasukan Muslim dari arah belakang saat mereka terlena memperebutkan harta. Serangan mendadak tersebut berakibat fatal bagi kaum Muslim. Tak kurang 70 tentara Muslim gugur menjadi syuhada, termasuk paman Rasulullah, Hamzah bin Abdul Muthalib. Tak kurang kesedihan Rasulullah Muhammad SAW atas kematian pamannya.
Seusai perang, jenazah para syuhada Uhud segera dimakamkan dekat lokasi perang serta dishalatkan satu per satu sebelum dikuburkan. Adapun Sayyidina Hamzah dishalatkan sebanyak 70 kali. Beliau dimakamkan menjadi satu dengan Abdullah bin Jahsyi (sepupu Nabi) di lokasi terpisah dengan lokasi para syuhada yang lain.
Lokasi pemakaman para syuhada Uhud kini menjadi kompleks pemakaman sangat sederhana, yang dikelilingi pagar setinggi 1,75 meter. Pagar dibenamkan jeruji agar para peziarah dapat melihat ke dalam pemakaman.
Tak seperti pemakaman biasa, tidak ada batu nisan atau tanda-tanda khusus di dalam areal pemakaman para syuhada Uhud. Hanya ada tanda berupa batu-batu di sekeliling areal pemakaman. Di Uhud, terdapat pula lubang tempat Rasulullah terjerembab dan tertimpa batu ketika terjadi perang. Terdapat juga sebuah gua tempat peristirahatan Rasulullah seusai perang.
Kecintaan Rasulullah kepada para syuhada Uhud, terutama sang paman, Hamzah RA, membuatnya senantiasa menyempatkan berziarah ke Jabal Uhud hampir setiap tahun. Langkah beliau kemudian juga diikuti oleh beberapa sahabat sesudah Rasulullah wafat. Terdapat kisah tentang Umar bin Khatab dan Abu Bakar As-Shiddiq yang selalu mengingatkan Rasulullah jika perjalanannya telah mendekati Uhud.
Nabi Muhammad SAW pun bersabda, ''Mereka yang dimakamkan di Uhud tak memperoleh tempat lain kecuali rohnya berada di dalam burung hijau, yang melintasi sungai surgawi. Burung itu memakan makanan dari taman surga dan tak pernah kehabisan makanan. Para syuhada itu berkata, 'Siapa yang akan menceritakan kondisi kami kepada saudara kami bahwa kami sudah berada di surga'.''
Maka, Allah berkata, ''Aku yang akan memberi kabar kepada mereka.'' Kemudian, turun ayat yang berbunyi, ''Dan, janganlah mengira orang yang terbunuh di jalan Allah itu meninggal.'' (QS 3:169).