Selasa 12 May 2020 20:48 WIB

Bawaslu Larang Kepala Daerah Politisasi Bansos

Sebanyak 224 pejawat kepala daerah berpotensi maju pilkada kembali.

Rep: Mimi Kartika/ Red: Agus Yulianto
Anggota Bawaslu Ratna Dewi Pettalolo (kanan) memberikan paparanya didampingi Pengiat Pemilu Wahidah Suaib Wittoeng (kiri).
Foto: Republika/Mahmud Muhyidin
Anggota Bawaslu Ratna Dewi Pettalolo (kanan) memberikan paparanya didampingi Pengiat Pemilu Wahidah Suaib Wittoeng (kiri).

REPUBLIKA.CO.ID, JAKARTA -- Anggota Badan Pengawas Pemilu (Bawaslu) RI, Ratna Dewi Pettalolo meminta ketegasan Menteri Dalam Negeri (Mendagri) Tito Karnavian melarang seluruh kepala daerah memanfaatkan bantuan sosial (bansos) terkait Covid-19 untuk kepentingan Pilkada 2020. Dari 270 daerah yang akan menggelar pemilihan serentak 2020, 224 pejawat kepala daerah berpotensi maju pilkada kembali.

"Ini yang akan kami dorong agar Menteri Dalam Negeri memiliki ketegasan untuk melarang seluruh kepala daerah yang berpotensi menjadi petahana untuk tidak melakukan tindakan memanfaatkan bantuan-bantuan sosial untuk kepentingan kontestasi 2020," ujar Dewi dalam diskusi virtual, 'Politisasi Bantuan Covid-19', Selasa (12/5).

Ia menjelaskan, larangan itu mengacu pada komitmen Mendagri melaksanakan amanat Pasal 76 Undang-Undang Nomor 9 Tahun 2015 tentang Pemerintahan Daerah. Ketentuan itu mengatur 10 poin larangan bagi kepala daerah dan wakil kepala daerah.

Pasal 76 ayat 1 huruf a berbunyi, kepala daerah dan wakil kepala daerah dilarang "membuat keputusan yang secara khusus memberikan keuntungan pribadi, keluarga, kroni, golongan tertentu atau kelompok politiknya yang bertentangan dengan ketentuan perundang-undangan."

Selain itu, Pasal 76 ayat 1 huruf d menyatakan, kepala daerah dan wakil kepala daerah dilarang "menyalahgunakan wewenang yang menguntungkan diri sendiri dan/atau merugikan daerah yang dipimpin.

Menurut Dewi, ketentuan Pasal 76 dalam UU Pemerintahan Daerah tersebut serupa dengan pengaturan Pasal 71 ayat 3 UU Nomor 10 Tahun 2016 tentang Pilkada. Unsur-unsur aturan, subjek perbuatan, sanksi administrasi hampir sama dalam kedua undang-undang tersebut.

Pasal 71 ayat 3 UU Pilkada berbunyi, "Gubernur atau Wakil Gubernur, Bupati atau Wakil Bupati, dan Walikota atau Wakil Walikota dilarang menggunakan kewenangan, program, dan kegiatan yang menguntungkan atau merugikan salah satu pasangan calon baik di daerah sendiri maupun di daerah lain dalam waktu 6 (enam) bulan sebelum tanggal penetapan pasangan calon sampai dengan penetapan pasangan calon terpilih."

Namun, lanjut Dewi, ketentuan terkait pemberhentian kepala daerah karena melanggar Pasal 76 UU Pemerintahan Daerah merupakan wilayah politis yang dilakukan melalui DPRD. Sedangkan, kepala daerah selaku pejawat melanggar ketentuan Pasal 71 UU Pilkada, dikenai sanksi pembatalan sebagai calon oleh KPU Provinsi atau KPU Kabupaten/Kota.

Jika ada laporan atau indikasi pelanggaram tersebut, Bawaslu akan melakukan pemeriksaan administrasi kepada kepala daerah yang bersangkutan. Sementara, sanksi bagi kepala daerah yang bukan pejawat diatur sesuai dengan peraturan perundangan-undangan yang berlaku.

Sehingga, Dewi menagih komitmen Kemendagri menerapkan ketentuan pasal yang menjadi kewenangannya dalam UU Pemerintahan Daerah. Hal ini tentunya demi mencegah dan menindak kepala daerah yang memanfaatkan bansos atau politisasi bansos di luar kewenangan Bawaslu sebagai penyelenggara pemilihan.

"Bagaimana kontestasi ini tidak diwarnai dengan memanfaatkan program-program pemerintah untuk kepentingan, yang paling diuntungkan ini adalah petahana," kata Dewi.

BACA JUGA: Update Berita-Berita Politik Perspektif Republika.co.id, Klik di Sini
Advertisement
Berita Lainnya
Advertisement
Terpopuler
1
Advertisement
Advertisement