REPUBLIKA.CO.ID, SINGAPURA -- Antrean panjang terbentuk di luar penata rambut di Singapura pada Selasa (12/5). Semua orang ingin memangkas atau sekadar merapikan rambut ketika pemerintah melonggarkan beberapa pembatasan lockdown.
"Kami hanya bisa menyediakan potongan rambut. Pengeringan dan pengeritingan adalah terlarang," kata pengawas di salon New Hairstory di daerah perumahan di pusat Singapura, Jervis Goh, dilansir laman Reuters.
Layanan binatu dan toko-toko yang menjual persediaan hewan peliharaan termasuk di antara perusahaan yang diizinkan untuk melanjutkan bisnis pada Selasa (12/5). Sebagian besar tempat kerja dan sekolah masih tutup serta makan di restoran masih dilarang hingga 1 Juni.
"Rasanya sangat ringan sekarang karena saya memotongnya (rambut)," kata pensiunan Pang Kaytee yang berusia 85 tahun yang pertama mengantre di salon. Pang mengatakan, terakhir memotong rambutnya tiga bulan lalu.
Staf di salon lain di seantero kota dapat terlihat mendisinfeksi peralatan dan kursi sebelum dibuka. Sementara plester menandai kursi yang tidak bisa digunakan pelanggan terlihat jelas untuk menegakkan jarak sosial.
"Saya merasa sangat lega karena mereka membuka kembali, saya tidak memotong rambut selama lima minggu," kata pengemudi truk berusia 27 tahun yang berambut lebat menunggu di luar toko tukang cukur, Muhammad Nor.
"Sangat tidak nyaman bagi saya karena cuaca yang panas. Saya berpikir untuk memotongnya sendiri tetapi merasa itu bukan ide yang bagus," ujar Muhammad mengurungkan niatnya yang bisa berakhir bencana bagi rambutnya.
Untuk menjalankan usaha pemangkasan rambut, staf salon wajib menggunakan masker dengan menerapkan pembatasan jumlah pelanggan. Contoh saja New Hairstory yang memiliki kapasitas 26 kursi hanya bisa mengoperasikan enam kursi saja. Setiap pelanggan yang masuk juga harus dilakukan pengecekan suhu tubuh dan melakukan pendaftaran terlebih dahulu.
Negara berpenduduk 5,7 juta itu memiliki 24.671 kasus dan 21 orang meninggal dunia akibat Covid-19 pada Selasa, salah satu penghitungan tertinggi di Asia. Sebagian besar infeksi terjadi di asrama pekerja migran yang sempit di pinggiran negara itu.
Pihak berwenang mengatakan, aturan karantina wilayah secara nasional diberlakukan secara ketat. Warga hanya dapat meninggalkan rumah untuk kebutuhan penting seperti berbelanja bahan makanan atau berolahraga sendirian, cara ini diklaim telah membatasi kasus di luar asrama.