Rabu 13 May 2020 20:31 WIB

Pengamat: Covid-19 Krisis Ketiga Pers Pasca-Reformasi

Ketergantungan tinggi media cetak pada pendapatan iklan harus direfleksi ulang.

Rep: Mimi Kartika/ Red: Fernan Rahadi
Pers (Ilustrasi)
Foto: News
Pers (Ilustrasi)

REPUBLIKA.CO.ID, YOGYAKARTA -- Pengamat pers, Masduki, menilai pandemi Covid-19 yang terjadi hari ini telah menjadi krisis ketiga bagi pers pasca-Reformasi tahun 1998 lalu. Hal itu ditandai di antaranya oleh menurunnya pendapatan iklan perusahaan pers, waktu operasional yang terbatas, sirkulasi yang terhambat, hingga hambatan pada wartawan dalam memenuhi kebutuhan dasarnya maupun dalam melakukan kegiatan jurnalistik.

"Krisis ini jauh lebih dahsyat dari segi impact-nya (ketimbang krisis pertama dan krisis kedua-Red) karena krisis ini dirasakan secara kolektif dan menyeluruh," ujar Masduki yang juga ketua Pemantau Regulasi dan Regulator Media (PR2Media) dalam Webinar Series bertema 'PHK Jurnalis dan Matinya Media Cetak?', Jumat (8/5).

Krisis pertama, ujar Masduki, adalah repolitisasi yang terjadi sejak 2004 sampai sekarang. Media cetak sejak tahun itu mengalami intervensi politik yang sangat keras dari para pemiliknya yang memiliki afiliasi dengan partai politik. 

"Sehingga, terdapat upaya menjadikan pers sebagai entitas yang partisan seperti pada dekade 1950-an dan 1960-an. Implikasinya, kredibilitas pers pun menurun di mata publik," ujar dosen Ilmu Komunikasi Universitas Islam Indonesia (UII) ini.