REPUBLIKA.CO.ID, YOGYAKARTA -- Pengamat pers, Masduki, menilai pandemi Covid-19 yang terjadi hari ini telah menjadi krisis ketiga bagi pers pasca-Reformasi tahun 1998 lalu. Hal itu ditandai di antaranya oleh menurunnya pendapatan iklan perusahaan pers, waktu operasional yang terbatas, sirkulasi yang terhambat, hingga hambatan pada wartawan dalam memenuhi kebutuhan dasarnya maupun dalam melakukan kegiatan jurnalistik.
"Krisis ini jauh lebih dahsyat dari segi impact-nya (ketimbang krisis pertama dan krisis kedua-Red) karena krisis ini dirasakan secara kolektif dan menyeluruh," ujar Masduki yang juga ketua Pemantau Regulasi dan Regulator Media (PR2Media) dalam Webinar Series bertema 'PHK Jurnalis dan Matinya Media Cetak?', Jumat (8/5).
Krisis pertama, ujar Masduki, adalah repolitisasi yang terjadi sejak 2004 sampai sekarang. Media cetak sejak tahun itu mengalami intervensi politik yang sangat keras dari para pemiliknya yang memiliki afiliasi dengan partai politik.
"Sehingga, terdapat upaya menjadikan pers sebagai entitas yang partisan seperti pada dekade 1950-an dan 1960-an. Implikasinya, kredibilitas pers pun menurun di mata publik," ujar dosen Ilmu Komunikasi Universitas Islam Indonesia (UII) ini.
Krisis kedua yang juga sampai hari ini masih dirasakan oleh media cetak adalah serbuan teknologi digital. Teknologi digital ini mampu menyajikan berita secara lebih cepat dibandingkan dengan media cetak, menghabiskan biaya yang lebih murah, serta mampu menggerus pemasukan iklan dari media-media analog termasuk media cetak.
"Keberadaan teknologi digital ini tidak mengurangi hak-hak publik mendapatkan informasi yang berkualitas seperti pada krisis pertama, namun justru memberi kesempatan publik untuk berekspresi secara personal, sehingga tak lagi membutuhkan media konvensional, termasuk media cetak," kata Masduki.
Pada masa Pandemi Covid-19 hari ini, harus diakui bahwa pers, dalam hal ini media dan jurnalis, berada dalam kondisi yang tidak berdaya. Sedangkan satu-satunya aktor yang bisa diharapkan untuk menyelamatkan pers adalah negara. "Pada hari ini kita bergantung pada negara, dan itu menggambarkan sebuah anomali," ujar Masduki.
Anomali lain yang terjadi adalah di saat banyak trafik pembaca media meningkat karena banyak orang berada di rumah selama pandemi kali ini ternyata tak berbanding lurus dengan pemasukan iklan. Hal itu disebabkan banyak produsen pemasang iklan melakukan penyesuaian operasional.
"Hal itu membuat mereka (pemasang iklan-Red) mengesampingkan anggaran-anggaran yang sifatnya komunikasi publik. Yang itu sebenarnya melawan jumlah trafik yang tinggi. Artinya mereka melewatkan momen ini dengan terpaksa," ujarnya.
Oleh karena itu, ketergantungan media cetak yang terlalu tinggi pada pendapatan iklan di masa depan harus segera direfleksi ulang. Dalam 30-40 tahun terakhir ini, kata Masduki, bisnis media cetak, termasuk bisnis media, penyiaran memang menggantungkan hampir 90 persen dari iklan.
"Pada saat yang sama, ketergantungan pada negara juga jangan sampai terus berlangsung," kata Masduki.
Hal itu disebabkan berdasarkan penelitian yang dilakukannya pada Lembaga Penyiaran Publik (LPP), ketergantungan pada negara yang berbentuk intervensi negara (state intervention) mampu menggerus kualitas konten dan independensi media tersebut secara perlahan-lahan.
Sebelumnya, Ketua Komisi I DPR, Meutya Hafid, mengatakan, pemerintah telah memastikan perusahaan pers di Indonesia akan mendapatkan insentif pajak untuk keberlangsung industri media yang terdampak pandemi Covid-19.
"Kami koordinasi akhir pada Jumat (17/4) dalam Rapat Terbatas Menko Perekonomian bersama Menteri Keuangan, diputuskan bahwa perusahaan pers mendapatkan insentif," kata dia, dalam Rapat Dengar Pendapat Komisi I DPR dengan KPI dan Dewan Pers secara virtual, bulan lalu.
Serikat Perusahaan Pers (SPS) menyatakan, perusahaan pers cetak terkena imbas pandemi Covid-19. Sebanyak 44 perusahaan pers anggota SPS yang disurvei secara acak sederhana, baik di daerah maupun DKI Jakarta, mengakui jika Covid-19 telah memberi tekanan bisnis bagi mereka.
"Kalau teman-teman di surat kabar harian terutama ya itu memang relatif mengalami penurunan yang sangat signifikan dari sirkulasi," ujar Sekretaris Jenderal SPS Pusat, Asmono Wikan saat dihubungi Republika.
Sebesar 80 persen responden mengatakan, tekanan itu bervariasi. Mulai dari penurunan iklan, sirkulasi, hingga berkurangnya aktivitas offprint dari program bersama klien seperti seminar, pelatihan, ulang tahun perusahaan, dan sebagainya.
Sementara, hanya 20 persen responden yang merasakan tekanan itu terjadi pada salah satu faktor tersebut. Fakta ini menunjukkan, bagi perusahaan pers cetak, krisis akibat pandemi Covid-19 benar-benar berdampak kompleks.