REPUBLIKA.CO.ID, JAKARTA -- Greenpeace Indonesia menilai, disahkannya Revisi UU Mineral dan Batubara secara terburu-buru ini menunjukan sikap pemerintah dan DPR yang memang memberikan karpet merah untuk para taipan batubara. Apalagi, jika ditelisik kembali isi dari UU tersebut.
Juru Bicara bidang Iklim dan Energi Greenpeace Indonesia, Hindun Mulaika menjelaskan ada banyak beleid yang memberikan kelonggaran terhadap perusahaan batubara. Terutama para perusahaan batubara yang akan segera habis masa kontraknya.
"RUU Minerba menjawab keterbutuhan dari kegentingan atau kepentingan perusahaan-perusahaan tambang batubara. Jadi sama sekali tidak menjawab permasalahan yang ada di lapangan," kata Hindun.
Ia menilai, saat ini, pemerintah mengesahkan undang-undang bukan lagi untuk kepentingan rakyat, tetapi demi kepentingan pengusaha. "Dan di sini kita juga melihat ternyata keberpihakan negara itu setirnya dipegang oleh kepentingan pertambangan batubara. Bukan lagi menjawab sebenarnya apa yang terjadi di masyarakat dan apa yang dibutuhkan masyarakat," ucap Hindun.
Koalisi #BersihkanIndonesia mencatat bahwa undang undang minerba memang dibuat untuk bisa memberikan previlage terhadap para perusahaan tambang. Alih alih dalam rapat dan pidato, DPR dan Pemerintah berkoar memberikan nilai tambah bagi masyarakat tak tergambar dalam aturan tersebut.
UU Minerba dianggap bakal melanggengkan energi kotor dan memberi karpet merah bagi perusahaan tambang. Koalisi menyebutkan pemerintah tengah menyediakan beragam kemudahan demi menyelamatkan perusahaan tambang. Salah satunya wacana usulan pemotongan tarif royalti yang harus dibayar kepada negara dan sejumlah insentif lainnya bagi perusahaan.
Koalisi juga mencatat masih ada sederet fasilitas yang disediakan RUU Minerba. Antara lain perpanjangan otomatis bagi pemegang izin PKP2B tanpa pengurangan luas wilayah plus lelang, perluasan definisi wilayah pertambangan sampai lautan plus pulau kecil, peluang tak menjalankan reklamasi pasca tambang, sampai pemindahtanganan IUP dan IUPK.
Selain itu, masih ada juga ketentuan aneh yang menghapuskan pasal 165 tentang sanksi pidana bagi pelanggaran penerbitan izin. Berbagai izin kini juga dipusatkan kembali ke pemerintah pusat tanpa mempertimbangkan kapasitas pemerintah daerah dalam mengawasi dan membina. Dalam revisi itu, RUU dinilai sangat minim perhatian bagi dampak industri pertambangan itu sendiri.