REPUBLIKA.CO.ID, JAKARTA -- Dewan Perwakilan Rakyat (DPR) resmi mengesahkan Peraturan Pemerintah Pengganti Undang-Undang (Perppu) Nomor 1 Tahun 2020 yang sebagai dasar hukum kebijakan keuangan negara untuk penanganan pandemi Covid-19. Salah satu yang tertuang dalam beleid itu, batasan defisit anggaran yang dapat melampaui 3 persen dari produk domestik bruto (PDB).
Ruang pelonggaran defisit terjadi lantaran adanya proyeksi penambahan belanja negara yang tak disertai dengan penerimaan. Itu setidaknya terlihat dari proyeksi pemerintah untuk belanja negara 2020 yang naik dari semula Rp 2.540,4 triliun menjadi Rp 2.613,8 triliun. Sementara, pendapatan negara dari target awal Rp 2.233 triliun menjadi hanya Rp 1.769,8 triliun.
Proyeksi itu alhasil berpotensi menambah defisit anggaran dari Rp 307,2 triliun menjadi Rp 852,9 triliun. Dengan kata lain, persentase defisit anggaran terhadap PDB bisa naik dari semula 1,76 persen menjadi 5,07 persen. Peningkatan defisit itu lantas berdampak pada penambahan utang.
Perubahan itu lantas menjadi sorotan bagi Badan Pemeriksa Keuangan (BPK). Wakil Ketua BPK, Agus Joko Pramono, menekankan, pada dasarnya BPK menjadi bagian dari negara yang ingin masalah Covid-19 segera tuntas. Namun, pengelolaan keuangan tetap harus dilakukan secara bijaksana dengan mitigasi risiko yang tepat.
Agus menuturkan, BPK merekam jejak pengelolaan keuangan negara saat krisis dari masa ke masa. Seperti BLBI tahun 1998 silam ketika krisis moneter, bencana tsunami 2004, kasus Bank Century 2008, hingga masalah Jiwasraya yang terungkap awal tahun ini.
"Kami punya memori yang panjang, bahwa permasalahan yang sifatnya krisis di zaman dahulu, meninggalkan jejak masalah karena ada titik-titik tertentu yang kontrol internalnya belum dibentuk sehingga menjadi tidak prudent," kata Agus awal pekan ini.
Dalam konteks Covid-19, ia menjelaskan, pergeseran anggaran hal yang lumrah dan sah. Selama dilakukan untuk langkah antisipasi risiko keadaan darurat yang melanda Indonesia. Belajar dari masa lalu, masalah bukan terletak pada anggaran, namun pada pelaksanaan anggaran itu sendiri.
"Pergeseran anggaran sah-sah saja, jadi silakan buat sebaik mungkin dengan mitigasi dan alasan-alasannya. Baru kita akan lihat pelaksanaannya," katanya menambahkan.
Ia menjelaskan, akibat pandemi di mana aktivitas dibatasi, terdapat perubahan dalam proses model pemeriksaan. Meski begitu, Agus memastikan, standar profesionalitas, kehati-hatian, dan keadilan sama sekali tidak diturunkan. BPK akan tetap menyatakan pendapat atas dasar berbagai temuan yang ada.
Karenanya, bencana bukan alasan untuk meniadakan kontrol, dan bukan pula alasan pemerintah untuk lengah dalam manajemen anggaran. Pencegahan terhadap kemungkinan penyelewengan penggunaan uang negara wajib dilakukan bersama.
Agus pun menegaskan, pentingnya kontrol keuangan disaat terjadi bencana telah disampaikan kepada pemerintah.
Hal lain yang tak kalah penting, kepercayaan masyarakat terhadap perangkat negara. Soal itu, Agus menekankan, sebetulnya cukup menunjukkan fiscal sustainibility lengkap dengan instrumen mitigasinya. Bahwa defisit kemungkinan meningkat disertai penambahan utang, pemerintah sudah memiliki antisipasi.
"Kapan utang di bayar, menggunakan dana yang mana, seperti apa penggunaannya. Itu sudah direkomendasikan BPK dan dibuat long term fiscal sustainibility. Ini penting untuk timbulkan trust," katanya.
Sekretaris Jenderal Seknas Forum Indonesia untuk Transparansi Anggaran, Misbah Hasan, menilai BPK dapat langsung melakukan monitoring terhadap pengelolaan anggaran Covid-19 yang dianggarkan hingga Rp 405,1 triliun. Mulai dari sumber anggaran hingga penggunaanya, wajib dimonitoring ketat.
Ia pun menilai perlu dilakukan audit investigatif khusus penanganan Covid-19. "Ini tidak cukup dengan audit administratif karena jumlahnya yang sangat besar tentu BPK dan KPK akan bersama mengawal ini," ujarnya.
Sesuai isi Perppu 1 Tahun 2020, pemerintah hanya mengatur batasan defisit bisa melampaui 3 persen terhadap PDB. Namun, tak menjelaskan detail angka maksimal. Menurutnya, situasi itu bisa jadi mengkhawatirkan setidaknya hingga 2022 sebab mulai 2023 maksimal defisit kembali ke 3 persen.
Seknas Fitra pun mendorong adanya sinkronisasi dan koordinasi anggaran lintas kementerian selama penanganan Covid-19. Itu penting, agar dalam setiap proses pengadaan barang dan jasa jadi lebih efektif dan meringankan beban APBN secara keseluruhan.
Menteri Keuangan Sri Mulyani dalam Rapat Paripurna DPR, Selasa (12/5), menjelaskan, pemerintah berkomitmen mencegah moral hazard sesuai yang diatur dalam Pasal 12 (1) Perppu 1 Tahun 2020. Pencegahan itu tetap dilakukan dengan prinsip tata kelola yang baik dan transparan.
Keputusan pemerintah untuk menambah batas defisit anggaran di atas 3 persen pun demi proses pemulihan berjalan bertahap dan tidak mengalami hard landing yang bisa memberikan guncangan ekonomi nasional. Kebijakan fiskal, kata Sri, menjadi instrumen strategis dan vital dalam upaya pemulihan.
Ia pun memastikan, pembiayaan anggaran dilakukan secara terukur dan hati-hati. Tentunya, dengan menjaga sumber-sumber pembiayaan yang berkelanjutan. Tujuannya, agar rasio utang tetap terjaga dalam batas aman di bawah 60 persen terhadap PDB.