REPUBLIKA.CO.ID, JAKARTA – Kementerian Keuangan (Kemenkeu) mencatat, BPJS Kesehatan memiliki utang klaim yang jatuh tempo kepada rumah sakit (RS) sekitar Rp 4,4 triliun per Rabu (13/5). Klaim ini belum dibayar setelah lebih dari 15 hari sejak dokumen diterima dan berpotensi dikenakan penalti.
Staf Ahli Menkeu Bidang Pengeluaran Negara Kemenkeu Kunta Wibawa Dasa mengatakan, salah satu yang mempengaruhi kondisi BPJS Kesehatan saat ini adalah Putusan Mahkamah Agung (MA). MA telah membatalkan kenaikan iuran jaminan kesehatan bagi Peserta Pekerja Bukan Penerima Upah (PBPU) dan Peserta Bukan Pekerja (BP).
Dengan kondisi tersebut, Kunta menilai, kondisi BPJS Kesehatan menunjukkan masih perlu adanya banyak perbaikan. Khususnya untuk membayar klaim jatuh tempo yang berpotensi memperlebar defisit. "Perlu ada upaya-upaya untuk mengurangi defisit BPJS tadi," kata Kunta dalam konferensi pers secara virtual, Kamis (14/5).
Di sisi lain, outstanding klaim BPJS Kesehatan tercatat sebesar Rp 6,21 triliun dengan utang klaim belum jatuh tempo senilai Rp 1,03 triliun. Sementara itu, yang sudah dibayar sejak 2018 senilai Rp 192,54 triliun.
Sebagai dampak Putusan MA, Kunta menyebutkan, kondisi keuangan BPJS Kesehatan tahun ini diperkirakan mengalami defisit hingga Rp 6,9 triliun. Ini termasuk menampung carry over defisit tahun lalu yang mencapai Rp 15,5 triliun.
Mulai tahun depan, defisit tersebut berpotensi semakin melebar apabila tidak dilakukan langkah signifikan untuk menjaga kesinambungan program. Bahkan, putusan MA tersebut mempercepat terjadinya defisit Jaminan Kesehatan Nasional yang semula diperkirakan mulai tahun 2024, menjadi 2022.