REPUBLIKA.CO.ID, JAKARTA -- Ketua MPR Bambang Soesatyo (Bamsoet) mersepons sejumlah isu aktual dalam sepekan. Mulai dari isu kenaikan kembali iuran BPJS Kesehatan hingga sial Tunjangan Hari Raya (THR).
Sehubungan dengan adanya rencana kenaikan iuran Badan Penyelenggara Jaminan Sosial/BPJS kesehatan Kelas I dan Kelas II mandiri pada Juli 2020, yang tercantum dalam Pasal 34 Peraturan Presiden (Perpres) Nomor 64 Tahun 2020 tentang Perubahan Kedua atas Peraturan Presiden Nomor 82 Tahun 2018 tentang Jaminan Kesehatan, Ketua MPR meminta pemerintah untuk mengkaji ulang rencana tersebut, mengingat putusan Mahkamah Agung/MA pada pokoknya melarang pemerintah menaikkan iuran BPJS kesehatan.
Oleh karenanya, sekalipun kenaikan iuran BPJS yang tertuang dalam Perpres Nomor 64 Tahun 2020 nominalnya sedikit berbeda dengan kenaikan sebelumnya, langkah presiden menaikkan iuran BPJS tetap tidak dapat dibenarkan karena kenaikan iuran bukan satu-satunya cara mengatasi defisit ekonomi negara, terlebih di tengah resesi ekonomi saat ini.
Bamsoet mendorong pemerintah segera memberikan sosialisasi dan penjelasan yang dapat dipahami oleh masyarakat, dikarenakan rencana kenaikan iuran BPJS kesehatan ini bertolak belakang dengan kembali normalnya iuran BPJS Kesehatan yang beberapa waktu lalu diputuskan MA.
"Mengingatkan pemerintah agar selalu mengedepankan kepentingan masyarakat luas dan menyampaikan bahwa peserta mandiri adalah kelompok masyarakat pekerja informal yang perekonomiannya sangat terdampak oleh Covid-19. Kenaikan iuran BPJS kesehatan ini justru berpotensi membuat masyarakat kesulitan dalam membayar iuran BPJS Kesehatan sehingga akses layanan kesehatan menjadi terhambat," ujar Bamsoet dalam siaran persnya.
Bamsoet mendorong pemerintah mencari solusi dalam menjaga keberlanjutan program JKN-KIS dan keberlangsungan BPJS Kesehatan sebagai penyelenggara program JKN agar tetap berjalan, namun yang tidak memberatkan ataupun membebankan masyarakat.
Kemudian terkait banyaknya kendala dalam penyelesaian kasus Hak Asasi Manusia (HAM) berat dan kasus kekerasan seksual, Ketua MPR RI mendorong pemerintah dalam hal ini bersama Komisi Nasional Hak Asasi Manusia/Komnas HAM dan institusi hukum perlu memperhatikan Pengadilan HAM hanya dapat mengadili pelanggaran HAM yang berat sebagaimana diatur Pasal 1 angka 3 UU No. 26 Tahun 2000 tentang Pengadilan Hak Asasi Manusia. Yang dimaksud dengan pelanggaran HAM berat adalah kejahatan genosida dan kejahatan terhadap kemanusiaan (Pasal 7 UU 26/2000), dan kasus HAM sebelum UU No.26 thn 2000 itu melalui Pengadilan HAM AdHoc yang dibentuk berdasarkan Peraturan Presiden atas usul DPR.
Bamsoet mendorong institusi hukum yang akan mengajukan proses peradilan HAM berat untuk memahami persyaratan subyektif ataupun persayaratan obyektif sebagai bukti telah terjadinya kejahatan HAM berat, agar dapat diproses sesuai dengan tata cara sesuai dengan hukum acara yang berlaku. Ia menghimbau jika ada warga yang merasa ketidakadilan terhadap suatu peristiwa yang menimpa mereka dapat melaporkan ke Komnas HAM dan meminta penjelasan apakah kasus yang terjadi merupakan kasus pelanggaran HAM atau bukan, agar upaya yang mereka lakukan untuk mendapat keadilan bisa diperhatikan oleh pemerintah.
"Menghimbau terhadap pihak korban atau keluarga korban kekerasan seksual untuk dapat terbuka dan berani melaporkan agar pelaku dapat dijerat dengan hukum pidana, selama ini korban atau keluarga korban merasa malu untuk melaporkan ke Kepolisian. Saat ini polisi dapat melakukan tindakan kepada pelaku tanpa perlu menunggu adanya laporan, karena kejahatan seksual sudah tidak merupakan kejahatan aduan," kata Bamsoet.
Bamsoet mendorong lembaga dan institusi hukum agar dapat melakukan langkah-langkah yang dapat memperbaiki kepercayaan masyarakat terhadap sistem peradilan kriminal maupun yang menyangkut tindak kekerasan terhadap perempuan, karena saat ini proses hukum terhadap kasus kekerasan seksual masih dinilai cukup lamban.
Mendorong pemerintah berkomitmen dalam memberikan perlindungan hukum kepada korban dan saksi, dan membantu mereka dalam penyediaan fasilitas hukum yang memadai, juga membantu dalam mengatasi sejumlah permasalahan legal yang dihadapi.
Sementara terkait rencana pemerintah, dalam hal ini Kementerian Pendidikan dan Kebudayaan, yang mulai akan membuka sekolah pada Juli 2020 mendatang, Ketua MPR mengingatkan Kemendikbud, pemda, dan pihak sekolah memastikan lingkungan sekolah dalam keadaan steril, dan difasilitasi sejumlah perangkat kesehatan, seperti sabun cuci tangan, hand sanitizer, dan pemberian masker secara gratis bagi guru, siswa, petugas kebersihan sekolah, dan satpam sekolah.
Mendorong Kemendikbud memikirkan upaya pencegahan Covid-19 di lingkungan sekolah, karena masih adanya potensi guru, siswa, petugas kebersihan, dan satpam, terpapar virus corona selama dalam perjalanan menuju ke sekolah. Oleh karena itu, Kemendikbud harus menentukan langkah antisipasi yang tepat untuk mencegah dan menanggulangi hal tersebut, misalnya dengan melakukan pengecekan suhu tubuh.
Bamsoet mendorong pemerintah, dalam hal ini Kemendikbud, didampingi oleh pemerintah daerah/pemda dan pihak sekolah, untuk membuat peraturan dan sosialisasi bagaimana prosedur kesehatan Covid-19 dapat diimplementasikan di setiap sekolah, sehingga dapat mencegah penyebaran Covid-19 di lingkungan sekolah.
"Mendorong pemerintah memperhatikan dan memetakan perkembangan covid-19 di setiap wilayah sekolah, sehingga dapat diketahui sekolah tersebut berada di zona covid-19 merah, orange, kuning, atau hijau. Hal tersebut bertujuan agar dapat diketahui sejauh mana relaksasi di setiap sekolah dapat dilakukan," ujarnya.
Sehubungan dengan dibukanya posko pengaduan tunjangan hari raya (THR) oleh Kementerian Ketenagakerjaan sehingga akan banyak pekerja yang melaporkan masalah pembayaran THR oleh perusahaan, akibat dari banyaknya perusahaan yang kesulitan untuk membayar THR sehingga perusahaan menunda pembayaran atau membayar dengan cara menyicil, hal ini dikarenakan adanya gangguan pendapatan perusahaan dikarenakan wabah virus Covid-19, Ketua MPR mengimbau agar pihak perusahaan memperhatikan hak-hak pekerja untuk mendapatkan THR, mengingat selama ini pekerja sudah memenuhi kewajibannya, dan meminta kepada setiap perusahaan untuk mencari solusi bersama perwakilan pekerja, yang sudah menyatakan menolak pembayaran THR dengan cara menyicil ataupun melakukan penundaan pembayaran.
Mendorong pemerintah dapat memberikan bantuan kepada perusahaan yang kesulitan keuangan dalam membayar THR dengan memberikan kemudahan dibidang pajak ataupun kemudahan transaksi perbankan. Mendorong pemerintah mengimbau kepada setiap perusahaan yang mampu/tidak mengalami kesulitan membayar THR, untuk segera membayarkan THR kepada setiap pekerja paling lambat tujuh hari sebelum Hari Raya Idul Fitri, atau pada tanggal 17 Mei mendatang, sesuai dengan Surat Edaran Menteri Nomor 6 tahun 2020 mengenai pembayaran THR pada masa pandemi Covid-19, mengingat adanya sanksi bagi pengusaha yang terbukti terlambat membayar THR keagamaan kepada pekerja.
"Mendorong pemerintah mengimbau kepada setiap pekerja yang bekerja di perusahaan agar memanfaatkan pos pengaduan THR yang disediakan oleh pemerintah, yang digunakan untuk melaporkan apabila karyawan memiliki masalah dengan perusahaan dalam hal pembayaran THR," ungkapnya.