REPUBLIKA.CO.ID, BELANDA -- Jenazah warga asal Maroko, Mbarka Bouda, seharusnya dimakamkan di tanah kelahirannya. Namun, karena aturan ketat karantina wilayah di Netherlands, Belanda, jenazah perempuan tersebut dimakamkan di pemakaman Muslim baru di sebuah kota kecil di timur laut Belanda.
"Itu pilihan kedua yang bagus," kata cucunya, Hassan Bouda, setelah dia membantu menurunkan peti mati Bouda ke tanah berpasir di pemakaman Riyad Al Jannah atau Taman Firdaus pekan lalu.
Setelah pemakaman Bouda selesai, baru kemudian sekelompok pelayat lain tiba. Banyak dari mereka datang melayat dengan menggunakan masker, sarung tangan, dan menjaga jarak. Itu merupakan aturan yang telah dibuat oleh pemerintah dalam upaya membendung penyebaran virus corona.
Banyak negara-negara melakukan karantina wilayah (lockdown). Lockdown ini berlaku bukan hanya terhadap mereka yang hidup, termasuk mereka yang meninggal. Bahkan banyak Muslim di Eropa yang meninggal bukan karena virus juga tidak dapat diterbangkan ke negara asalnya untuk dimakamkan.
Ini adalah masalah, terutama bagi para migran yang telah lebih dulu tiba di Eropa pada 1960 dan 1970-an untuk mencari pekerjaan. Mereka lebih suka dimakamkan di mana mereka dilahirkan. Bagi Muslim dari Maroko, saat ini tidak mungkin karena negara kelahiran mereka menutup negaranya.
"Karena corona, ini menjadi masalah," kata imam Hamid Belkasmi, yang memimpin pemakaman Bouda. Banyak Muslim merasa sulit menerima dimakamkan di Belanda," katanya, Kamis (14/5).
Asosiasi Imam di Belanda telah mengeluarkan panduan agar umat Islam dimakamkan di negara itu. Schiphol Mortuarium, spesialisasi dalam badan repatriasi Belanda turut merasakan dampak Covid-19. Mereka biasa memfasilitasi pemulangan 2.000 jenazah setiap tahun, termasuk di antaranya 500-600 jenazah ke Maroko.
Namun saat ini, menurut Direktur Organisasi Schiphol Mortuarium, Hans Heikoop, banyak mayat yang ditahan di gudang pendingin menunggu penerbangan. Mereka bisa tetap berada di sana selama berminggu-minggu atau berbulan-bulan jika dibalsem.
Beberapa peti mati jenazah diterbangkan dengan cara dimasukkan ke kargo seperti pada penerbangan ke Turki, namun tidak untuk ke Maroko. Mereka harus menyerah dan memakamkan keluarganya di tanah Belanda.
Inilah yang membuat mereka kesulitan karena pemakaman di Belanda kadang tidak sejalan dengan kebiasaan umat Muslim. Pemakaman di Belanda, selain mahal juga hanya bertahan selama 15 tahun setelahnya harus diperbarui atau digusur.
“Ini tidak sesuai dengan tradisi Muslim. Dalam tradisi Muslim, ketika Anda menguburkan seseorang itu selamanya (kuburan tetap ada)," kata Presiden Dewan Prancis untuk Iman Muslim, Mohammed Moussaoui.
Prancis merupakan rumah bagi populasi Muslim terbesar di Eropa. Sekitar lima juta keluarga Muslim tinggal di sana. Di Prancis ada sejumlah lahan di pemakaman bagi umat Muslim.
Mereka yang tidak menerbangkan jenazah keluarganya ke negara asal dapat dimakamkan di pemakaman tersebut. Di Belanda, banyak pemakaman Belanda yang di dalamnya terdapat kuburan Muslim. Tetapi, hanya ada dua pemakaman yang menawarkan jaminan dapat dikubur selamanya.
Itu adalah alasan keluarga Bouda mengendarai mobil sepanjang 230 kilometer (145 mil) dari Leiden ke Zuidlaren untuk menguburkannya di pemakaman tersebut. Bouda, migrasi ke Belanda pada awal 1970-an. Kemudian bekerja sambil membesarkan tiga anaknya dan meninggal pada awal Ramadhan karena anemia di usia 83 tahun.
Ini merupakan kuburan baru. Kuburannya sejajar satu sama lain, menghadap ke Makkah dan meredakan kekhawatiran keluarga tentang masalah penguburan.
"Orang-orang merasa stres berpikir di mana kita bisa menguburkannya, tapi sekarang tidak lagi. Saya pikir ini bagus untuk komunitas Maroko dan Islam di Belanda," ujar Hassan.