Jumat 15 May 2020 09:47 WIB

Menjaga Narasi di Masa Pandemi, Pentingkah?

narasi bukan hanya ucapan tapi juga diikuti perbuatan nyata

Penjahit menyelesaikan proses pembuatan pakaian alat pelindung diri (APD) di konveksi rumahan Jalan Parakansaat, Kota Bandung, Sabtu (11/4). Untuk meminimalisir kerugian karena sepinya pesanan serta upaya membantu pemerintah dalam menanggulangi pandemi Covid-19, sejumlah pengusaha konveksi di Kota Bandung beralih memproduksi alat pelindung diri (APD) untuk tenaga medis di rumah sakit dan puskesmas yang menangani pasien Covid-19
Foto: ABDAN SYAKURA/REPUBLIKA
Penjahit menyelesaikan proses pembuatan pakaian alat pelindung diri (APD) di konveksi rumahan Jalan Parakansaat, Kota Bandung, Sabtu (11/4). Untuk meminimalisir kerugian karena sepinya pesanan serta upaya membantu pemerintah dalam menanggulangi pandemi Covid-19, sejumlah pengusaha konveksi di Kota Bandung beralih memproduksi alat pelindung diri (APD) untuk tenaga medis di rumah sakit dan puskesmas yang menangani pasien Covid-19

REPUBLIKA.CO.ID,JAKARTA -- Narasi kini telah menjelma menjadi suatu yang memiliki arti sangat penting. Melalui kumpulan narasi kepercayaan dan sosok seseorang atau karakter akan terbentuk yang akan memunculkan sikap tertentu dari publik.

Permainan narasi dalam pandemi Covid-19 sejak awal tahun ini sudah sangat terasa. Dunia telah diingatkan kemungkinan merebaknya virus mematikan tersebut sejak akhir tahun lalu di Wuhan, Cina.

Di Indonesia ada beberapa tahapan yang dapat dianalisa. Seperti stage brainstroming ketika virus ini mulai menjadi buah bibir kalangan pemerintahan, medis maupun masyarakat, stage consolations ketika badan kesehatan dunia, WHO menjelaskan ini adalah pandemi serta solid stage. " Menkes  menunjukkkan sikap dengan nada canda padahal sikap itu akan menunjukkan konsekuensi serius," kata Dr Gun Gun Heryanto, Direktur Eksekutif The Political Literacy Institute di sela diskusi Webinar Narasi Komunikasi Publik Pemerintah dalam Penanganan Wabah Covid-19yang diselenggarakan  Magister Ilmu Komunikasi FISIP UMJ, Kamis (14/5).

Menurut Gun gun, masalah narasi bukan hanya ucapan tapi juga diikuti perbuatan nyata yang dapat diinterpretasikan masyarakat. Ini apabila dikendalikan pemerintah sejak awal melalui pernyataan yang serius, kemungkinan akan memunculkan kepercayaan publik yang baik. Penanganan aspek kepercayaan ini menjadi penting bagi pemerintahan guna memperoleh dukungan publik. Hal itu terlihat dari penolakan hasil riset sepanjang Januari hingga Februari lalu. 

Konsep narasi verbal dan non verbal akan dimaknai banyak orang dengan beragam sikap. Apabila dalam narasinya sudah ditemukan suatu yang cacat, atau tidak konsisten maka akan melemahkan kepercayaan publik terhadapnya. Bahkan dalam kekuasaan hal itu dapat terkait dengan kebenaran. Setiap narasi ada pertimbangan logis yang bisa memunculkan keyakinan tertentu untuk mengambil tindakan. "Kalaupun dia berkata benar, publik tidak langsung percaya apa yang dikatakannya," tutur Gun gun. 

Tak mengherankan bila akhirnya muncul beragam informasi hoax di media sosial yang merugikan pemerintah maupun masyarakat. Sedikitnya menurut catatan Kominfo terdapat 686 informasi hoax di dunia maya. Penyebab munculnya hoax juga beragam. Kebijakan pelonggaran moda transportasi, pembatasan pengendalian, larangan mudik, perbedaan istilah antara pulang kampung dan mudik, juga turut mewarnai perkembangan narasi sepanjang wabah Covid-19 ini berlangsung. 

Sedangkan Dr Juri Ardiantoro, Deputi IV Informasi dan Komunikasi Politik KSP RI menilai wabah Covid-19 ini yang harus ditangani pemerintah bukan sebatas mengobati yang sakit saja. Melainkan juga masyarakat luas yang terdampak dari wabah mematikan tersebut. Karena itu upaya memutus mata rantai virus tersebut dengan disiplin menjaga kebersihan, jarak sosial menjadi suatu yang snagat vital. " Jangan sampai ada orang yang mati kelaparan karena terdampak Covid-19," katanya. 

Karena itu ada tiga penanganan yang dilakukan pemerintah. Yakni, penanganan aspek kesehatan, masalah ekonomi masyarakat terdampak serta komitmen membuka ruang agar perekonomian tetap berjalan, terutama di tingkat bawah agar tidak mati.  Anggaran yang ditetapkan pemerintah ditujukan untuk penanganan aspek kesehatan, jaminan sosal dan stimulus ekonomi. Sebelum merebaknya Covid-19, terdapat 9,8 juta penduduk miskin dan setelah wabah diperkirakan jumlahnya bertambah.

Juri juga menyebutkan pemerintah sedang mengupayakan agar kurva kematian maupun penderita baru Covid-19 melandai dan menurun. Upaya itu terlihat dari sejumlah skenario yang disampaikan dalam rapat pemerintahan. Termasuk kemungkinan rileksasi yang dilakukan Juni mendatang. Sayangnya informasi ini sudah terlanjur beredar di masyarakat. Padahal itu belum menjadi keputusan resmi pemerintah. " Ini yang mengundang kritik dari masyarakat termasuk pakar epidemologi,"  tuturnya. 

Juri juga menambahkan peran media dalam membentuk sipa publik sangat besar. Media sering memberikan pernyataan pejabat publik yang tidak utuh atau dipotong karena berbagai alasan termasuk framming. Bahkan mungkin dipengaruhi click bait sehingga orang sudah terpengaruh setelah membaca judul tanpa membaca isinya.  Ajakan berdamai dengan Covid-19 yang disampaikan pemerintah diartikan virus ini tidak akan berhenti 100 persen sebelum ditemukan vaksinnya. Masyarakat perlu menerapkan pola hidup baru yang menjaga kesehatan dengan hidup lebih bersih, dan selalu mengenakan masker saat bepergian. 

Merebaknya virus tersebut disaat penggunaan media sosial kian masif telah memicu beredarnya banyak informasi di media massa maupun media sosial. Hal itu memicu kebingungan  dan kepanikan masyarakat hingga terjadi aksi borong alkes, sembako dan masalah sosial lainnya. "Ada candaan seolah informasi yang disampaikan terkesan tidak serius," kata Dr Nani Nurani Muksin, Kaprodi studi MIKOM FISIP UMJ. 

Menurut Nani, pemerintah juga kurang memaksimalkan menggunakan peran media dalam menyampaikan berbagai kebijakan. Perlu adanya kegiatan media relations yang baik karena media memiliki karakter yang menyukai kontroversial agar menarik bagi pembaca. Di sisi lain perlunya melibatkan publik figur atau influencer media sosial lebih luas lagi agar apa yang disampaikan pemerintah mendapat dukungan penuh masyarakat. "Perlu adanya koordinasi lebih baik lagi antara pusat dan daerah agar informasi yang beredar dapat lebih dikendalikan,"katanya.

 

 

BACA JUGA: Ikuti News Analysis News Analysis Isu-Isu Terkini Perspektif Republika.co.id, Klik di Sini
Advertisement
Berita Lainnya
Advertisement
Advertisement
Advertisement