REPUBLIKA.CO.ID, JAKARTA -- Jika ingin menjadi negara maju, maka kegiatan ekonomi dan pembangunan bangsa harus berlandaskan pada kekuatan riset dan inovasi. Produktivitas dan kualitas riset akan sangat dipengaruhi oleh ketersediaan anggaran.
Pemerintah Indonesia sudah berupaya membangun ekosistem riset yang lebih baik di Tanah Air terutama dengan dikeluarkannnya Undang-undang Nomor 11 Tahun 2019 tentang Sistem Nasional Ilmu Pengetahuan (UU Sisnas Iptek). Namun, yang masih kurang adalah implementasi optimal dari undang-undang tersebut, terutama menyangkut dana abadi penelitian.
Pada 2019, pemerintah telah mengalokasikan dana abadi penelitian senilai Rp 990 miliar yang akan naik menjadi Rp 5 triliun pada 2020. Tetapi yang menjadi persoalan kemudian adalah bagaimana implementasi dari penggunaan dana abadi ini agar benar-benar efektif dan efisien. Sampai saat ini, belum ada implementasi apa pun dari dana abadi penelitian itu.
Penyelenggaraan dan pengelolaan dana penelitian membutuhkan pondasi yang kuat, investasi berkelanjutan dan mandiri serta lembaga independen yang mengelola dana itu. Sekretaris Jenderal Akademi Ilmuwan Muda Indonesia (ALMI) Berry Juliandi menuturkan kenaikan satu persen belanja penelitian dan pengembangan akan mendorong peningkatan pertumbuhan ekonomi sebesar satu persen di negara-negara maju.
Sedangkan di negara-negara berkembang, kenaikan satu persen belanja penelitian dan pengembangan akan mendorong pertumbuhan produk domestik bruto (PDB), namun dengan persentase lebih kecil yaitu masing-masing 0,3 persen, 0,4 persen dan 0,62 persen. "Penelitian itu sangat penting. Kita sudah melihat banyak negara yang maju mengalami kemajuan secara ekonomi, ternyata mengandalkan kemajuan pada riset dan teknologi dalam mendorong pertumbuhan ekonomi," kata Berry dalam acara peluncuran buku Membangun Penyelenggaraan Pendanaan Penelitian di Indonesia yang Berkelanjutan dan Mandiri: Sebuah Studi Kebijakan yang disiarkan dalam jaringan, beberapa waktu lalu.
Berry yang juga turut menulis dalam buku itu mengatakan pendanaan penelitian di Indonesia bukan saja terbatas dan tertinggal dibanding negara-negara tetangga di Asia Tenggara, seperti Singapura, Malaysia, Thailand, dan Vietnam, tapi juga menghadapi masalah diskoneksi birokrasi.
Masalah itu meliputi hambatan akibat siklus anggaran pemerintah, ketergantungan yang besar terhadap dana pemerintah, serta minimnya kontribusi sektor swasta. Hambatan lain berupa absennya perencanaan riset strategis jangka panjang akibat ketidakpastian keberlanjutan anggaran. Alhasil, penelitian di Indonesia belum bisa menjadi alat yang signifikan membawa kemajuan bangsa.
Menurut Akademi Ilmu Pengetahuan Indonesia dan ALMI, ada beberapa permasalahan dalam pengelolaan pendanaan penelitian di Indonesia, yakni kekacauan data penghitungan belanja Litbang nasional, tidak adanya mekanisme jelas pengukuran kinerja lembaga penelitian, mekanisme pendanaan penelitian menggunakan sistem pengadaan barang dan jasa, dan tidak ada lembaga independen dan fokus mengelola pendanaan penelitian. Selain itu, rendahnya faktor kemampuan fiskal negara dalam mengalokasikan dana untuk membiayai kegiatan penelitian dan pengembangan, serta rendahnya kontribusi industri atau swasta dalam pendanaan riset.
Dari dana penelitian Indonesia sebesar Rp 24,92 triliun pada 2016, hanya 43,74 persen yang dialokasikan untuk riset. Sebagian besar dari dana itu malah digunakan untuk belanja modal, operasional, jasa iptek, serta pendidikan dan pelatihan (diklat). Dana riset itu dikucurkan pada 81 kementerian dan lembaga, namun hanya 13 kementerian dan lembaga yang benar-benar melakukan kegiatan penelitian dan pengembangan.
Dana penelitian Indonesia yang sebesar 0,25 persen dari PDB itu tergolong rendah jika dibandingkan sejumlah negara di Asia Tenggara seperti Singapura dengan dana penelitian sebesar 2,012 persen dari PDB, Vietnam dengan 0,374 persen, dan Thailand dengan 0,442 persen.
Pendanaan berkelanjutan
Untuk mendukung ekosistem dan perkembangan riset di Tanah Air, maka sumber dana diharapkan juga terus bertumbuh dari tahun ke tahun yang bisa didasarkan pada prinsip investasi, sehingga mendorong adanya keberlanjutan ketersediaan anggaran. Dana penelitian yang terus tumbuh dan berkelanjutan akan membuat berbagai riset bisa lebih leluasa dilakukan dan tidak terkendala anggaran.
AIPI dan ALMI menawarkan dua jenis sumber pendanaan yakni sovereign wealth fund dan dana abadi (endownment fund). Sovereign wealth fund merupakan dana investasi khusus yang dikendalikan oleh pemerintah atau badan untuk pengelolaan aset jangka menengah dan panjang. Investasi bisa dalam saham, obligasi, surat utang, properti dan infrastruktur. Sementara dana abadi merupakan dana investasi yang dibentuk oleh institusi dengan berinvestasi pada surat utang negara, obligasi BUMN, dan deposito.
Sovereign wealth fund adalah kendaraan finansial dari negara yang memiliki atau mengatur dana publik dan menginvestasikannya ke aset-aset yang luas dan beragam. Berry yang juga dosen di Institut Pertanian Bogor itu menuturkan dana abadi penelitian Indonesia merupakan kebijakan baru yang dapat meningkatkan produktivitas dan kualitas riset. Namun, kebijakan baru membutuhkan pondasi kuat berupa tata aturan, skema pengelolaan, mekanisme investasi, kelembagaan, sumber pendanaan, dan tentunya strategi penyalurannya, dan semunya itu disusun berbasis penelitian.
Untuk mengelola dana abadi penelitian Indonesia, AIPI dan ALMI merekomendasikan perlunya dibentuk Badan Layanan Umum (BLU) baru. Lembaga pengelola dana abadi penelitian harus mengembangkan dana secara berkelanjutan, profesional, fleksibel, transparan, dan akuntabel, serta memiliki independensi.
"Independensi ini sangat penting karena juga menyangkut kualitas riset yang dilakukan oleh lembaga yang menerima dan memenutuskan mana proposal yang didanai," kata Anggota ALMI Inaya Rakhmani.
AIPI dan ALMI juga merekomendasikan perlu ada pemisahan antara lembaga pengelola investasi dan penyaluran manfaat. Inaya yang juga tim penulis buku itu mengatakan dana abadi dan sovereign wealth fund bersifat mendukung sumber pendanaan lain seperti pendanaan anggaran pemerintah secara langsung, atau hibah non-dana abadi, dan sumber-sumber langsung lainnya.
"Kami merekomendasikan adanya pengelolan investasi yang akuntabel serta profesional," tutur Inaya yang juga dosen di Universitas Indonesia.
Kementerian Riset dan Teknologi/Badan Riset dan Inovasi Nasional, katanya, dapat mengkoordinasikan penyaluran dana abadi penelitian baik hasil investasi melalui skema dana abadi maupun sovereign wealth fund. Dengan begitu, diharapkan tidak terjadi kekacauan persebaran dana penelitian, seperti yang terjadi selama ini. Dalam menentukan arah dan strategi kebijakan pendanaan penelitian, Kementerian Riset dan Teknologi melibatkan instansi terkait, yang memiliki kompetensi mengenai bidang penelitian invensi dan inovasi.