Jumat 15 May 2020 16:54 WIB

Wajah APBN Pascacovid-19

Ketergantungan APBN pada utang kian menghebat di masa pandemi.

 Yusuf Wibisono, Direktur IDEAS, pada soft launching hasil riset IDEAS yang bertajuk ‘Wajah APBN Pasca Covid-19’, di Tangerang Selatan, Kamis (14/5) .
Foto: IDEAS
Yusuf Wibisono, Direktur IDEAS, pada soft launching hasil riset IDEAS yang bertajuk ‘Wajah APBN Pasca Covid-19’, di Tangerang Selatan, Kamis (14/5) .

REPUBLIKA.CO.ID, JAKARTA -- Institute For Demographic and Poverty Studies (IDEAS) melihat Pandemi corona virus disease 2019 (Covid-19) yang melanda, membuka kerentanan struktural APBN yang telah menahun seperti terbatasnya kapasitas fiskal, besarnya beban belanja terikat, defisit anggaran yang telah menjadi norma, dan ketergantungan pada pembiayaan utang yang masif.

Berbekal Perppu No. 1/2020 yang kini telah disahkan sebagai UU, pemerintah merombak postur dan alokasi APBN 2020 secara signifikan hanya dengan Perpres. Atas nama penyelamatan perekonomian nasional dan stabilitas sistem keuangan dari dampak Covid-19, melalui Perpres No. 54/2020, defisit anggaran melonjak drastis dari Rp 307 triliun (1,76 persen dari PDB) menjadi Rp 853 triliun (5,07 persen dari PDB), dengan pembiayaan utang menembus Rp 1.000 triliun.

Baca Juga

“Kapasitas fiskal yang terus menurun dalam lima tahun terakhir dari 10,9 persen menjadi hanya 9,6 persen dari PDB, diproyeksi semakin jatuh pasca Covid-19,” tutur Yusuf Wibisono, Direktur IDEAS, pada soft launching hasil riset IDEAS yang bertajuk ‘Wajah APBN Pasca Covid-19’, di Tangerang Selatan, Kamis (14/5) kemarin.

photo
Senilai apa anggaran APBN 2020? - (IDEAS)

Yusuf Wibisono menambahkan bahwa Tax ratio APBN 2020 yang semula ditargetkan 10,7 persen dari PDB dengan asumsi pertumbuhan ekonomi 5,3 persen, pascapandemi turun menjadi hanya 8,7 persen dari PDB, dengan asumsi pertumbuhan ekonomi 2,3 persen. Proyeksi ini bisa semakin memburuk seiring asumsi pertumbuhan ekonomi yang bergerak ke arah -0,4 persen.

Dengan politik anggaran yang sangat terbuka terhadap utang, jatuhnya kapasitas fiskal di masa pandemi ini segera ditutup dengan utang untuk menopang belanja tidak terikat (discretionary expenditure).

Pada APBN yang penuh dengan belanja terikat (belanja birokrasi dan bunga utang), stimulus fiskal yang signifikan harus dilakukan dengan utang yang sangat masif, hingga Perppu No. 1/2020 menabrak aturan pengelolaan makroekonomi yaitu diizinkannya BI membeli SBN di pasar primer.

“Stimulus ekonomi melawan dampak Covid-19 melalui Perppu No. 1/2020 harus dibayar amat mahal yaitu dengan mencabut aturan disiplin anggaran pemerintah sekaligus monetisasi defisit anggaran oleh bank sentral,” kata Yusuf Wibisono.

Dengan timbunan utang sebelum pandemi, stok utang pemerintah semakin melonjak. Per Maret 2020, stok utang pemerintah tercatat Rp 5.192 triliun atau sekitar 32,1 persen dari PDB, berlipat dua dari posisi Oktober 2014 yang Rp 2.601 triliun. Pada akhir tahun, stok utang pemerintah diperkirakan akan mencapai Rp 5.784 triliun atau 34,4 persen dari PDB.

“Kenaikan utang pemerintah pascapandemi semakin mengkhawatirkan. Dalam tiga bulan pertama 2020, stok utang pemerintah rata-rata bertambah Rp 138,2 triliun per bulan, melonjak 4 kali lipat dari rata-rata periode Juli 2013-Desember 2019,” ujarnya menambahkan.

photo
Utang Indonesia yang terus menggembung. - (IDEAS)

IDEAS melihat Ketergantungan APBN pada utang kian menghebat di masa pandemi. Beban bunga utang melonjak hampir empat kali lipat dalam satu dekade terakhir, dari Rp 88,4 triliun pada 2010, menjadi Rp 335,2 triliun pada 2020. Pada saat yang sama, pembayaran cicilan pokok utang berlipat lebih dari empat kali, dari Rp 127 triliun menjadi Rp 539 triliun.

“Dengan pemerintah semakin dalam terjerat perangkap utang, berutang untuk bayar utang, maka pembuatan utang baru oleh pemerintah terus meningkat drastis dari waktu ke waktu. Dengan kehadiran pandemi, diperkirakan pemerintah akan menarik utang baru hingga Rp 1.439,8 triliun,” ungkap Yusuf Wibisono.

Melihat besarnya porsi belanja tidak terikat perintah, maka belanja untuk stimulus fiskal dan perlindungan sosial yang dibawah kewenangan pemerintah, seringkali harus dibiayai dengan utang, dan dengan jumlah yang tak pasti. Alokasi belanja modal, subsidi, dan bantuan sosial selalu merupakan residual belaka, bahkan dengan proporsi yang terus menurun. Secara ironis, hal ini justru semakin memuncak di kala pandemi menghampiri.

Yusuf Wibisono memberikan perbandingan bahwa pasca Perppu No.1/2020, beban pembayaran bunga utang tahun ini melonjak menjadi Rp 335,2 triliun. Beban bunga utang Rp 335,3 triliun ini setara dengan sejumlah besar belanja penting untuk ratusan juta rakyat, mulai dari program keluarga harapan (Rp 37,4 triliun), kartu sembako (Rp 43,6 triliun)), subsidi listrik (Rp 58,3 triliun), bansos Jabodetabek dan Non Jabodetabek (Rp 19,6 triliun), Kartu Prakerja (Rp 20 triliun), BLT Dana Desa (Rp 21,2 triliun), subsidi bunga UMKM dan ultra mikro (Rp 34,2 triliun), cadangan kebutuhan pokok dan operasi pasar (Rp 25 triliun), bantuan operasional sekolah (Rp 53,5 triliun), bantuan operasional penyelenggaraan PAUD (Rp 4 triliun) hingga bantuan operasional kesehatan dan KB (Rp 15,3 triliun). Keberpihakan anggaran pada si miskin justru semakin memburuk di kala krisis.

Dibutuhkan terobosan strategi untuk menurunkan beban utang. Strategi pengelolaan utang mainstream selama ini sangat pro-kreditor (investor) namun cenderung abai terhadap kondisi debitor, khususnya kemampuan negara untuk melakukan stimulus fiskal dan perlindungan sosial kepada rakyat, terlebih di saat krisis.

“Dalam jangka pendek, pemerintah setidaknya harus secara intensif mengadopsi pendekatan pembiayaan defisit anggaran yang lebih berbasis instrumen filantropi, bukan instrumen komersial murni, antara lain socially responsible investment (SRI) bond dan sukuk wakaf (cash-waqf linked sukuk),” pungkas Yusuf Wibisono, seraya menutup pembahasannya.

BACA JUGA: Ikuti News Analysis News Analysis Isu-Isu Terkini Perspektif Republika.co.id, Klik di Sini
Advertisement
Berita Lainnya
Advertisement
Advertisement
Advertisement