REPUBLIKA.CO.ID, JAKARTA -- Otoritas Jasa Keuangan (OJK) mencatat jumlah restrukturisasi pembiayaan yang disetujui oleh perusahaan pembiayaan atau leasing sebanyak 1,48 juta debitur. Angka ini setara dengan nilai transaksi sebesar Rp 44,61 triliun.
Ketua Dewan Komisioner OJK Wimboh Santoso mengatakan jumlah tersebut berdasarkan data yang disampaikan hingga 12 Mei 2020. “Hampir semua bank berkomitmen dan sudah melaporkan ke OJK,” ujarnya saat video conference di Jakarta, Jumat (15/5).
Wimboh merinci jumlah nasabah yang mengajukan permohonan restrukturisasi kredit mencapai 2.210.448 kontrak. Sedangkan saat ini yang masih dalan proses persetujuan mencapai 658.222 kontrak.
“Saat ini dari 183 perusahaan pembiayaan, ada 180 perusahaan yang telah menerima permohonan restrukturisasi dan menyampaikan laporannya kepada OJK,” ucapnya.
Sementara restrukturisasi perbankan, berdasarkan data per 10 Mei 2020 terdapat 88 bank yang sudah melakukan restrukturisasi kepada 3,88 juta debitur. Angka ini setara dengan nilai transaksi sebesar Rp 336,97 triliun.
"Dari jumlah tersebut, restrukturisasi terbesar diberikan kepada nasabah UMKM mencapai 3,42 juta debitur dengan nilai Rp 167,1 triliun," jelasnya.
Restrukturisasi ini, menurut Wimboh, tidak langsung bisa didapatkan oleh para debitur. Setidaknya para debitur harus memenuhi beberapa syarat seperti plafon kredit/pembiayaan UMKM maksimal Rp 10 miliar rupiah, debitur merupakan existing individual/perusahaan termasuk debitur kendaraan bermotor roda dua /empat, dan lain-lain.
Kemudian peningkatan kualitas kredit/pembiayaan menjadi lancar setelah direstrukturisasi, teknis eksekusi restrukturisasi diserahkan kepada bank/leasing dengan prinsip kehati-hatian, jangka waktu paling lama satu tahun dan debitur terdampak dan kredit lancar sebelum pemerintah mengumumkan darurat Covid-19.
“Pelaksanaan restrukturisasi memang menemui banyak kendala. Penyebabnya yaitu adanya perbedaan persepsi masyarakat karena kurangnya pemahaman,” ungkapnya.
Selain itu kendala lain yakni industri baik bank maupun multifinance yang masih berpedoman pada Standard Operational Procedure (SOP) yang lama, sehingga cenderung memakan waktu dan birokrasi. Tak hanya itu, kendala datang dari adanya beberapa pemerintah daerah yang menetapkan penundaan penagihan kredit dari Aparatur Sipil Negara (ASN) dan pengemudi online yang tidak berhubungan langsung dengan perusahaan pembiayaan.
"Memang terjadi perbedaan antara masyarakat atau debitur dengan bank dan multifinance, sehingga sering terjadi distorsi di lapangan. Maka kami sampaikan bahwa dalam restrukturisasi ini, ketentuan kredit itu harus betul-betul bahwa kredit yang bisa direstrukturisasi yang tidak macet sebelum dampak Covid-19, kalau sudah macet tidak bisa ikut program restrukturisasi,” jelasnya.