Sabtu 16 May 2020 01:52 WIB

Impor Bahan Baku Turun, Gambaran Memburuknya Sektor Industri

Impor bahan baku mengalami kontraksi 7,30 persen pada periode Januar-April 2020.

Rep: Adinda Pryanka/ Red: Nidia Zuraya
Aktivitas bongkar muat peti kemas di Pelabuhan Tanjung Priok, Jakarta, Rabu (29/4/2020).  Impor bahan baku mengalami kontraksi 7,30 persen pada periode Januar-April 2020.
Foto: Antara/Nova Wahyudi
Aktivitas bongkar muat peti kemas di Pelabuhan Tanjung Priok, Jakarta, Rabu (29/4/2020). Impor bahan baku mengalami kontraksi 7,30 persen pada periode Januar-April 2020.

REPUBLIKA.CO.ID, JAKARTA – Ekonom Center of Reform on Economic (CORE) Indonesia Yusuf Rendy Manilet menilai, impor bahan baku yang terus mengalami kontraksi menjadi indikasi kinerja industri tahun ini tidak akan sebaik dibandingkan tahun lalu. Prediksi ini sejalan dengan indeks Purchasing Managers’ Index (PMI) Indonesia April yang juga melambat, bahkan sampai ke titik terendah sejak 2011.

Badan Pusat Statistik (BPS) mencatat, impor bahan baku/ penolong pada Januari hingga April mengalami kontraksi 7,30 persen dibandingkan periode yang sama pada tahun lalu. Kontraksi lebih dalam terlihat jika merujuk data April, yaitu sampai negatif 19,13 persen dibandingkan April 2019.

Baca Juga

Yusuf mengatakan, data ini menggambarkan tidak optimalnya industri dalam negeri mengingat sebagian besar bahan baku industri masih dibutuhkan dari luar negeri. "Akhirnya, mereka harus mengurangi proporsi ekspor hasil industri, yang terafirmasi dari kontraksi pertumbuhan ekspor manufaktur pada April," katanya ketika dihubungi Republika.co.di, Jumat (15/5).

Merujuk data BPS, kinerja ekspor industri manufaktur kontraksi 1,77 persen dibandingkan April 2019 menjadi 9,76 miliar dolar AS. Ini selaras dengan total ekspor bulan lalu yang tumbuh negatif 7,02 persen (yoy) meskipun secara akumulasi (Januari-April 2020) tumbuh landai 0,44 persen.

Kontraksinya impor bahan baku yang berdampak pada pelambatan ekspor manufaktur patut menjadi perhatian pemerintah. Sebab, sektor ini menjadi kontributor terbesar kinerja ekspor Indonesia, hingga 80 persen pada bulan lalu.

Yusuf mengatakan, pemerintah harus berkaca dari tahun lalu. Pada 2019, pertumbuhan ekspor industri kontraksi 2,6 persen yang akhirnya berdampak pada pertumbuhan ekspor secara keseluruhan pada akhir tahun yang mencapai negatif tujuh persen.

"Artinya, apabila permintaan akan produk industri terus melambat dan tergambar dari perlambatan impor bahan, maka secara tidak langsung akan berdampak pada ekspor," katanya.

Yusuf menyebutkan, solusi yang ditawarkan pemerintah harus komprehensif dan berkelanjutan. Langkah pemerintah untuk memberikan isnentif pajak ke sektor industri manufatkur sudah baik, namun perlu dipastikan pemanfaatannya. Sebab, sering kali, insentif pajak tidak optimal karena minim sosialisasi dan pengetahuan pelaku usaha.

Selain itu, Yusuf menambahkan, perluasan insentif jangan hanya terbatas pada pajak. Pemangkasan komponen ongkos produksi industri, seperti harga listrik dan gas industri, juga bisa dilakukan.

Kementerian Perindustrian sebagai kementerian teknis pun patut diberi perhatian lebih banyak. Meski sifatnya strategis, alokasi anggaran untuk kementerian ini masih relatif lebih kecil dibandingkan kementerian strategis lain.

Yusuf memberikan contoh, pada Kebijakan Ekonomi Makro dan Pokok-Pokok Kebijakan Fiskal (KEM PPKF) 2021, alokasi anggaran Kementerian Perindustrian hanya Rp 2,5 triliun. NIlainya lebih kecil dibandingkan kementerian lain yang sifatnya sama-sama strategis seperti Kementerian Pertanian. "Padahal salah satu tupoksi Kemenperin ya melakukan revitalisasi industri," ujarnya.

BACA JUGA: Update Berita-Berita Politik Perspektif Republika.co.id, Klik di Sini
Advertisement
Berita Lainnya
Advertisement
Advertisement
Advertisement