Negara-negara Eropa secara bertahap dan hati-hati melonggarkan aturan lockdown. Seiring dengan itu pemerintah negara-negara Eropa berusaha membeli alat tes antibodi untuk mengetahui berapa banyak warganya yang terinfeksi, dengan harapan akan membantu mereka menyusun strategi untuk menghindari gelombang kedua kasus COVID-19.
Namun, dengan informasi yang belum jelas terhadap kesepakatan apa yang akan dicapai lewat hasil tes tersebut, banyak pihak mengkhawatirkan bahwa dana publik dan waktu pemerintah hanya akan terbuang sia-sia.
Sebuah perusahaan biotek terbesar, pusat kekuatan diagnosa dan pelopor farmasi, Roche, yang berada di Swiss, telah mengembangkan tes antibodi COVID-19 sendiri. Hal ini membuat Swiss menjadi salah satu negara yang menahan diri dari pemesanan tes antibodi.
"Pemerintah hingga saat ini belum membeli tes antibodi," kata juru bicara Kementerian Kesehatan Federal Swiss kepada Reuters, Kamis (14/05).
"Kemampuan mereka (negara-negara Eropa) untuk memberi tahu kami untuk menjadi bagian dari strategi pelonggaran masih kurang jelas," katanya, merujuk pada aturan pelonggaran pembatasan, seperti “pergerakan bebas”.
Meningkatnya jumlah pesanan
Namun hal itu tidak menghentikan kegiatan perusahaan pembuat tes antibodi termasuk Roche, dan saingan terbesar lainnya, seperti Abbott dari Amerika Serikat (AS), Siemens Healthineers di Jerman, serta pemasok dari Cina. Perusahaan-perusahaan ini tengah disibukkan oleh pesanan dan tingginya permintaan dari pemerintah.
Pada hari Kamis (14/05), Inggris mengumumkan telah berbicara dengan Roche untuk mendapatkan ratusan ribu tes antibodi per minggu. Inggris menggambarkannya sebagai "pengubah permainan" yang potensial.
Sebelumnya, Jerman mengatakan pada pekan lalu bahwa perusahaan pembuat obat asal Swiss tersebut akan menjual tes antibodinya sebanyak tiga juta unit pada bulan Mei dan lima juta unit sebulan setelahnya.
Finlandia yang khawatir sulit mengamankan pasokan dunia, telah membuat tes antibodi buatan dalam negeri.
Institut Kesehatan dan Kesejahteraan Finlandia (THL) awalnya mulai menggunakan tes dari vendor Eropa yang tidak disebutkan namanya. Tetapi ketika mengetahui pemasok tidak dapat menjamin pengiriman tepat waktu untuk 30.000 alat tes yang diinginkannya tahun ini, maka Finlandia beralih strategi.
"Ketersediaan (tes antibodi) dipertanyakan sehingga kami tidak dapat melanjutkan langkah itu," kata kepala peneliti THL Arto Palmu kepada Reuters, seraya menambahkan keakuratan tes antibodi versi domestiknya tak kalah bagus.
Keakuratan jadi kunci
Tes antibodi dirancang untuk mendeteksi protein sistem kekebalan yang dikembangkan tubuh manusia sebagai respons terhadap infeksi, yang biasanya merupakan tanda perlindungan terhadap penularan penyakit kembali.
Keakuratan adalah segalanya, karena tes positif palsu dapat memberi orang rasa aman “semu” jika mereka percaya bahwa mereka memiliki penyakit dan memiliki kekebalan, padahal sebenarnya mereka mungkin tidak pernah terinfeksi.
Roche mengatakan tesnya memiliki tingkat keakuratan hingga 99,81 persen.
Sementara, Abbott mengatakan keakuratan dan sensitivitas pengujiannya masing-masing adalah 99,5 persen dan 100 persen.
Lain lagi dengan DiaSorin dari Italia, yang menyebut tes Liason XL-nya memiliki sensitivitas 97,4 persen dan keakuratan 98,5 persen.
Denmark, salah satu negara pertama di Eropa yang membuka kembali sekolah, pada hari Senin (11/05) telah memulai studi antibodi pertamanya. Studi ini meliputi pengujian tes antibodi terhadap 2.600 orang, dengan menggunakan kit antibodi dari Wantai, Cina.
Kementerian Kesehatan Belanda mengatakan pada Selasa (05/05), pihaknya juga telah memesan satu juta kit antibodi dari Wantai.
Sedangkan Italia telah memilih Abbott sebagai pemasok 150.000 alat tes.
Ketika ditanya soal perbedaan dalam jumlah tes antibodi yang dikirim ke berbagai negara, Roche menolak memberi jawaban. Roche mengatakan tujuan perusahaan ini untuk menjadi "adil" bagi semua negara.
Roche tidak ingin terlibat dalam pertikaian politik seperti yang dilakukan salah satu pesaingnya, Sanofi ketika mengatakan Amerika Serikat akan menjadi yang pertama mendapatkan vaksin COVID-19, jika terbukti berhasil.
“Paspor imunitas”
Meski begitu, tak semua negara memiliki perhatian yang sama terhadap tes antibodi. Di Hongaria misalnya, seorang juru bicara pemerintah mengatakan pada Kamis (14/05) pihaknya belum ada rencana untuk melakukan tes antibodi secara massal.
Saat ini pun, masih minim informasi tentang kesepakatan apa yang harus dilakukan oleh negara-negara dengan hasil tes antibodi.
Beberapa negara, seperti Chili, telah melayangkan gagasan misalnya memberikan "paspor imunitas" guna memungkinkan pergerakan bebas. “Paspor imunitas” dapat dikeluarkan untuk orang yang telah sembuh dari COVID-19, dengan pemahaman mereka mungkin telah kebal dari infeksi ulang.
Tetapi Badan Kesehatan Dunia (WHO) telah memperingatkan terhadap paspor semacam itu, dengan mengatakan "tidak ada bukti" bahwa orang yang telah pulih dari COVID-19 tidak dapat terjangkit lagi.
Menteri Kesehatan Jerman Jens Spahn juga mengatakan pekan lalu, gagasan membatasi orang hanya karena mereka tidak memiliki antibodi spesifik menimbulkan pertanyaan etis.
Sementara Swiss, strateginya sama dengan di negara-negara seperti Korea Selatan dan Taiwan yang telah berhasil menahan laju penyebaran COVID-19. Negara itu menguji siapa saja yang menunjukkan gejala, melacak semua orang yang telah melakukan kontak dengan orang yang terinfeksi, dan mengharuskan mereka melakukan isolasi mandiri sampai mereka jelas terbebas dari penyakit.
pkp/rap (Reuters)