Sabtu 16 May 2020 06:10 WIB

Kisah Perjuangan Seorang Dokter Melawan Stigma Covid-19

Seorang dokter yang telah selesai diisolasi mendapatkan perlakuan kurang baik.

Rep: Dwina Agustin/ Red: Muhammad Hafil
Kisah Perjunangan Seorang Dokter Melawan Stigma Covid-19. Foto: Virus corona (ilustrasi).
Foto: www.freepik.com
Kisah Perjunangan Seorang Dokter Melawan Stigma Covid-19. Foto: Virus corona (ilustrasi).

REPUBLIKA.CO.ID, BAGHDAD -- Kepulangan Dr. Marwa al-Khafaji setelah 20 hari di kamar isolasi rumah sakit disambut dengan sambutan kurang baik. Seseorang telah membarikade gerbang rumah keluarganya dengan balok beton.

Pesan dari para tetangga sangat jelas, dia memang telah selamat dari virus corona. Namun,  dia harus stigma di sekitar penyakit itu akan menjadi perjalanan lebih menyakitkan.

Baca Juga

Dokter muda itu harus berada di garis depan pertempuran Irak dengan virus pada awal Maret. Perjuangannya ini menjadi cerminan orang-orang di sistem kesehatan harus babak belur, karena rentan tertular virus.

Rumah sakit tanpa persediaan, staf medis diintimidasi oleh penyakit yang tidak diketahui, dan stigma luas terkait dengan infeksi merupakan perjalan yang tidak bisa dihindari. Poin terakhir menjadi ketakutan entah sampai kapan akan bertahan.

Stigma didorong oleh kepercayaan agama, adat istiadat, dan ketidakpercayaan yang mendalam terhadap sistem kesehatan telah menjadi masalah utama pandemi di Irak. Kondisi ini membuat warga menyembunyikan penyakit dan menghindari mencari bantuan.

Pada pertengahan Maret, warga berusia 39 tahun ini menjadi khawatir ketika ibunya yang sudah tua, Dhikra Saoud, menunjukkan tanda-tanda gangguan pernapasan. Virus itu baru saja mulai menghantam Irak dan belum meninggalkan bekasnya di kota Karbala tempatnya tinggal.

Tapi dokter menghubungkan titik-titik itu. Beberapa hari sebelumnya, ayahnya menunjukkan gejala mirip flu ringan yang dirawat di rumah. Sekarang ibunya menunjukkan hal yang sama, tetapi kondisi akut.

Khafaji yakin itu adalah tanda-tanda virus corona. Namun, tiga rumah sakit yang berbeda, dokter menolak untuk menguji ibunya. Pada saat itu, alat tes terbatas dijatah bagi mereka yang pernah ke Iran.

Pada setiap kunjungan rumah sakit, ibu Khafaji takut tetangga akan mendengar di mana dia berada. "Saya mohon padamu. Bawa aku pulang," kata Khafaji menirukan permintaan ibunya.

Gejalanya memburuk, sampai Khafaji menangis memohon pertolongan kepada seorang teman yang merupakan dokter pada pukul 03.00. Dia meminta untuk ibunya tes, dan disetujui,

Pada 19 Maret, polisi datang ke rumah untuk membawa ibu dan putrinya ke rumah sakit. Keduanya dinyatakan positif. Sekali lagi terlihat dampak dari stigma, orang sering menolak dikarantina, sehingga polisi dikirim untuk memaksa mereka.

Menurut statistik Kementerian Kesehatan, setidaknya 115 orang telah meninggal di antara lebih dari 3.030 kasus virus korona yang dikonfirmasi di seluruh Irak. Tingkat harian kasus melonjak setelah jam malam diperpendek untuk bulan Ramadhan, dari 29 pada 22 April hingga 119 kasus pada 13 Mei.

Para pejabat Irak menggambarkan tanggapan terhadap penyebaran telah memadai. Irak dianggap selamat dari kenaikan kasus secara drastis seperti terlihat di negara tetangga, Iran dan Turki.

Juru bicara Kementerian Kesehatan, Saif al-Badr menyalahkan penyebaran pada orang-orang yang memiliki gejala atau datang dari negara yang terkena dampak. Orang-orang itu tidak menyampaikan fakta-fakta tentang penyakitnya, sehingga membuat kasus di negara itu meningkat.

Tapi kisah Khafaji dan dokter serta perawat lainnya mengungkap, respons yang serampangan tanpa strategi komprehensif dari pemerintah membuat kasus meningkat. Terlebih lagi keputusan karantina wilayah tidak diberlakukan dengan benar.

"Di dalam karantina, masa depan terasa tidak pasti. Di luar tidak ada bedanya," kata Khafaji.

Sistem kesehatan terpusat Irak, sebagian besar tidak berubah sejak tahun 1970-an. Kondisi ini telah dihancurkan oleh perang selama beberapa dekade, sanksi dan kerusuhan berkepanjangan sejak invasi Amerika Serikat tahun 2003, dengan sedikit kucuran investasi dari pemerintah.

Hanya ada delapan dokter dan 1,4 tempat tidur rumah sakit per 10.000 orang. Negara berpenduduk 38 juta ini memiliki 600 ventilator. Sedangkan, SSeorang dokter Karbala, Assel Saad Saleh mengatakan, rumah sakit tempatnya bekerja harus menangani 1.000 pasien sehari, lebih dari tiga kali lipat kapasitasnya. 

BACA JUGA: Update Berita-Berita Politik Perspektif Republika.co.id, Klik di Sini
Advertisement
Berita Lainnya
Advertisement
Terpopuler
1
Advertisement
Advertisement