Ahad 17 May 2020 05:35 WIB

Hidup Berkompromi dengan Covid-19, Bisa Gak Sih?

Sikap masyarakat yang abai menjadi tanda-tanya kesiapan berkompromi dengan covid-19

Bayu Hermawan
Foto: Republika/Kurnia Fakhrini
Bayu Hermawan

REPUBLIKA.CO.ID, oleh Bayu Hermawan*

Penularan virus Covid-19 di Indonesia masih sangat mengkhawatirkan. Bukan tidak percaya pada pernyataan pemerintah bahwa pandemi Covid-19 mulai melandai, namun kenyataanya jumlah kasus baru, pasien sembuh dan meninggal akibat Covid-19 masih sangat fluktuatif, alias bisa tiba-tiba melonjak tinggi dan menurun setiap hari.

Berdasarkan data situs resmi pemerintah Covid19.go.id, setidaknya dalam satu pekan terakhir tercatat ada rekor jumlah penambahan kasus baru dalam satu hari. Juga rekor jumlah pasien sembuh terbanyak per hari. Hingga Sabtu, 16 Mei, jumlah kasus positif Covid-19 di Indonesia tercatat ada 17.025 orang. Sementara pasien sembuh sebanyak 3.911 orang dan meninggal 1.089 orang. Belum lagi data yang dirilis Pemerintah Provinsi DKI Jakarta bahwa ada lebih dari 2.000 orang dimakamkan secara protokol Covid-19.

Apakah Indonesia sudah mencapai masa puncak pandemi atau justru tengah menuju gelombang kedua penularan Covid-19? Kita tidak pernah tahu pasti, sebab toh memang pemerintah juga tidak bisa memastikan, dan tidak secara terbuka mengatakan.

Di tengah tanda tanya itu, ada pernyataan menarik yang disampaikan Presiden Joko Widodo. Presiden mengatakan masyarakat Indonesia harus bisa berkompromi dengan Covid-19. Ini bukan pertama kali Jokowi menyampaikan hal semacam itu. Sebelumnya, masih di bulan yang sama, Jokowi juga mengatakan masyarakat harus berdamai dengan Covid-19. Dalam kesempatan itu, Jokowi juga menyinggung kehidupan new normal.

Poin penting dalam pernyataan yang disampaikan Jokowi adalah masyarakat harus kembali produktif dengan menjalankan protokol kesehatan. Artinya aktivitas akan berjalan seperti sedia kala, namun masyarakat diminta tetap menjalankan pencegahan penularan Covid-19. Masyarakat tetap diminta melakukan praktik cuci tangan, menjaga jarak, hingga mengenakan masker saat ke luar rumah. Satu lagi hal yang mungkin akan sulit namun harus siap menjadi gaya hidup baru masyarakat Indonesia adalah tidak bersalaman atau cepika-cepiki.

Hal itu terdengar mudah namun justru sulit diterapkan oleh sebagian besar masyarakat. Sebab, hingga saat ini saja, masih banyak masyarakat yang abai dengan protokol kesehatan. Tidak susah menemukan fakta itu, coba saja ke luar rumah, masih banyak orang yang seolah tidak peduli dengan perintah protokol kesehatan. Keluyuran ke luar rumah tanpa mengenakan masker, berkumpul lebih dari lima orang, masih melakukan aktivitas tanpa mempedulikan jaga jarak, bahkan menganggap aktivitas cuci tangan sebagai kegiatan yang berlebihan. Apakah masyarakat cuek, tak patuh dan tidak disiplin? Jawabannya ya, bagi sebagian orang.

Namun, sulitnya menjalankan protokol kesehatan secara ketat juga ada andil dari pemerintah. Pemerintah seolah tidak tahu (atau 'berpura-pura' tidak tahu) bahwa bagi sebagian masyarakat peraturan dibuat untuk dilanggar.

Pemerintah sejak awal memang terkesan malu-malu (jika tidak mau disebut ragu-ragu) dalam mengambil kebijakan melawan Covid-19. Sebagai contoh, pemerintah melarang warga untuk mudik, namun di sisi lain muncul kebijakan baru yang melonggarkan operasional moda transportasi umum. Jadi jangan heran ketika terjadi penumpukan penumpang di Bandara Soekarno-Hatta beberapa waktu lalu. Meski sudah ada aturan yang dikeluarkan pemerintah melalui Gugus Tugas Percepatan Penanganan Covid-19, toh penegakan aturan itu juga sulit untuk diawasi. Belum lagi menjelang Hari Raya Idul Fitri, potensi semakin banyaknya masyarakat yang abai akan aturan tersebut akan sangat mungkin terjadi.

Alih-alih ingin pandemi segera berakhir, di sisi lain pemerintah juga tak mau kondisi perekonomian nasional runtuh. Lihat saja aturan yang disampaikan oleh Kepala Gugus Tugas Percepatan Penanganan Covid-19 Doni Monardo mengenai pekerja di 11 sektor usaha yang berusia di bawah 45 tahun diizinkan untuk kembali bekerja.

Setelah pernyataan itu dikeluarkan, sejumlah perusahaan mewajibkan pekerjanya kembali ke kantor setelah melakukan work from home selama dua bulan. Kebijakan ini mendapat kritik keras dari sejumlah pihak, karena bukan tidak mungkin di antara para pekerja usia 45 tahun ke bawah yang bekerja kembali, muncul orang tanpa gejala.

Orang-orang inilah yang juga berpotensi menularkan virus penyebab penyakit Covid-19 kepada orang lain. Bukan hanya itu, para pekerja usia produktif juga khawatir dapat menularkan virus kepada orang tua mereka yang berusia lanjut dan memiliki penyakit penyerta di rumah. Padahal orang lanjut usia merupakan kelompok rentan terinfeksi. Apalagi di Indonesia ada banyak orang tua tinggal dengan orang yang lebih muda dalam satu rumah. Meski ada imbauan agar para pekerja ini melakukan self isolation sesampainya di rumah, apakah mungkin disiplin dilakukan oleh semuanya? Kembali lagi pada penjelasan sebelumnya di atas, bahwa masih banyak masyarakat Indonesia yang cuek dengan protokol kesehatan meski sudah berulang kali diberikan edukasi.

Contoh lain, masih lekat dalam ingatan, di mana sejumlah warga nekat berkumpul untuk mengucapkan perpisahan pada salah satu gerai makanan cepat saji di Jakarta. Padahal, saat itu PSBB diberlakukan di Jakarta, dan selain pihak restoran yang dikenakan sanksi, tidak ada satupun orang-orang yang hadir dikenakan hukuman. Berkaca dari kejadian-kejadian di atas timbul pertanyaan, bisakah masyarakat Indonesia menjalani kehidupan new normal seperti yang disampaikan Presiden Jokowi?

Jawabannya bisa, asalkan pemerintah tegas dalam memberikan sanksi bagi siapa saja yang melanggar protokol kesehatan. Sanksi denda hingga kerja sosial mungkin cukup efektif menjadi pembelajaran bagi masyarakat untuk siap memasuki kehidupan new normal. Pemerintah pun harus bersikap tegas terhadap kebijakan yang dikeluarkan, dalam arti, tidak boleh plintat-plintut. Jangan lagi ada egosentris antara pemerintah pusat dengan daerah tentang kebijakan yang diambil, yang justru membuat rakyat bingung, dan berujung pada sikap abai mereka.

Pemerintah juga harus bisa meyakinkan masyarakat bahwa kebijakan-kebijakan yang diambil, benar-benar demi kebaikan Indonesia. Bukan sekadar latah ikut-ikut negara-negara lain yang mulai melonggarkan kebijakan pencegahan Covid-19 (sekali lagi bukan meragukan data Covid-19 yang dikeluarkan pemerintah). Dengan ketegasan dan kejujuran pemerintah, bukan tidak mungkin masyarakat akan patuh dan mengikuti aturan dengan menyambut kehidupan berdamai atau berkompromi dengan Covid-19 seperti yang disampaikan Presiden Jokowi.

*) penulis adalah jurnalis republika.co.id

BACA JUGA: Update Berita-Berita Politik Perspektif Republika.co.id, Klik di Sini
Advertisement
Berita Lainnya
Advertisement
Advertisement
Advertisement