REPUBLIKA.CO.ID, JAKARTA – Segala sesuatu yang hidup di dunia memiliki batas. Bahkan, hidup pun memiliki batas akhirnya.
Imam Shamsi Ali menyebut batas-batas yang ada dalam hidup manusia akan menjadi acuan setiap perbuatan manusia. Batas-batas itu pula yang akan menentukan bagaimana seseorang dalam mengambil tanggung jawab hidupnya.
"Batas membuat manusia terikat sekaligus terukur akan siapa dirinya. Menjaga batas-batas itu adalah bentuk tanggung jawab dan keadilan. Melampaui batas-batas itu adalah bentuk tidak tanggung jawab dan kezaliman," ujar Imam Shamsi Ali dalam sebuah pesan yang diterima Republika.co.id, Sabtu (16/5).
Alquran kerap menjelaskan tentang batas-batas yang dimiliki manusia. Melampaui batas-batas yang ada, dalam bahasa Alquran dikenal dengan thogut (transgresi).
Perilaku thoghut atau melampaui batas-batas (hudud) itulah yang menjadi penyebab segala kerusakan atau fasad dalam hidup.
"Ambillah makan sebagai salah satu contoh. Makan yang berlebihan akan menimbulkan banyak masalah kesehatan. Makan berlebihan bisa menimbulkan kolesterol, darah tinggi, hingga obesitas," lanjutnya.
Dalam surat Ar Ruum ayat ke-41, Allah SWT berfirman, "Telah tampak kerusakan di darat dan di laut disebabkan karena perbuatan tangan manusi, supaya Allah merasakan kepada mereka sebahagian dari (akibat) perbuatan mereka, agar mereka kembali (ke jalan yang benar)."
Imam Shamsi Ali menyebut kata 'tangan' yang dimaksud ayat tersebut adalah kemampuan manusia. Namun di lain sisi juga bisa diartikan sebagai otoritas atau kekuasaan.
Manusia akan kehilangan kontrol terhadap kekuatan dan otoritasnya di saat hawa nafsu menjadi komando hidupnya. Akibatnya, batas-batas hidup yang ada sudah tidak lagi menjadi pertimbangan.
Di sinilah esensi puasa yang sesungguhnya muncul. Dengan puasa, manusia melatih diri dalam mengontrol kecenderungan hawa nafsu. Hawa nafsu yang terkontrol dalam pembangunan dunia akan tetap terjaga dalam batas-batas kehidupan.
Tapi, Imam Shamsi Ali menyebut untuk memungkinkan manusia menahan hawa nafsu, diperlukan kesabaran bahkan rasa takut kepada Tuhan alam semesta.
Sebaliknya, kegagalan manusia dalam mengontrol hawa nafsunya, sehingga keluar dari batas-batas kehidupan, banyak disebabkan oleh hilangnya kebesaran Allah dalam jiwanya.
"Allah SWT telah menggambarkan itu di surat An Nazi'aat. Barangsiapa toghaat (melampuai batas) dan mencintai dunia secara berlebihan, maka sungguh neraka jamannam menjadi tempat kembalinya," ucapnya.
Hawa nafsu yang tidak terkontrol melahirkan perilaku melampaui batas (i’tidaa). Perilaku-perilaku yang melampaui batas itulah yang mengakibatkan ragam jahannam atau penderitaan hidup.
Dalam dunia modern saat ini, ada dua bentuk neraka yang paling umum menimpa manusia. Mereka adalah al-khauf atau rasa takut dan al-hassan atau rasa sedih.
Kekhawatiran atau ketakutan itu bisa terkait dengan masa depan. Sementara kesedihan menyangkut dengan masa lalu. Manusia adalah makhluk yang erat dengan rasa takut kehilangan. Jika sudah merasa kehilangan, mereka pasti mengalami kesedihan berlebihan.
"Manusia kerap merasa takut kekurangan di masa depannya. Jika kekurangan menimpanya, mereka akan bersedih. Padahal jika saja beriman, keduanya juga masuk dalam kategori karunia Tuhan. Asal diposisikan pada posisi yang proporsional," lanjut Imam Shamsi Ali.
Puasa mengandung esensi menahan diri, dengan mendekatkan dan menghadirkan kebesaran Allah SWT dalam hidup. Mendekatkan diri kepada Yang Mahaesa menjadi kunci jannah atau ketenangan dalam hidup.
Hal ini sesuai dengan surat An Nazi'at ayat 40-41 disebutkan, "Dan adapun orang-orang yang takut kepada kebesaran Tuhannya dan menahan diri dari keinginan hawa nafsunya, Maka sesungguhnya surgalah tempat tinggal(nya)."
"Kesimpulannya, surga dan neraka atau kebahagiaan dan penderitaan hidup itu akan banyak ditentukan bagaimana manusia menjaga batas-batas hidupnya. Di sini pulalah puasa memiliki peranan signifikan menumbuhkan kesadaran manusia tentang itu," kata dia.