REPUBLIKA.CO.ID, JAKARTA -- Komisioner Komisi Pemilihan Umum (KPU) Republik Indonesia sedang menggodok sejumlah hal terkait teknis tahapan pemilihan kepala daerah (Pilkada) dengan penerapan jaga jarak fisik (physical distancing) untuk mencegah penularan Covid-19. Komisioner KPU Viryan Azis mencoba memberikan gambaran tahapan Pilkada di era pandemi Covid-19.
Dimulai dari tahapan pencocokan dan penelitian (coklit) daftar pemilih. Menurut Viryan, tahapan coklit idealnya memang harus dilakukan dari 'pintu ke pintu' (door to door).
Namun di saat kondisi era pandemisaat ini, hal ini tentu berbeda. “Pendekatan door to door tidak disebut dalam Undang-Undang, di pasal 57 atau 58 ayat 3 yang disebut adalah melakukan coklit Daftar Pemilih Sementara di wilayah RT/RW yang bersangkutan. Sehingga menjadi relevan, kalau pendekatannya (coklit) digunakan berbasis RT/RW,” ujar Viryan dalam pernyataan yang diterima di Jakarta, Ahad (17/5).
Untuk itu, coklit DPS secara door to door ke depan direncanakan tidak lagi dilaksanakan. Karena itu, KPU perlu mengubah dua hal.
Pertama, kegiatan regrouping Tempat Pemungutan Suara (TPS) setiap Pemilu dan TPS yang berubah-ubah sudah saatnya diakhiri. Dengan putusan Mahkamah Konstitusi Nomor 55/PUU-XVII/2019 yang ada saat ini, sudah saatnya menata manajemen pemutakhiran data pemilih yang lebih baik.
"Ke depan TPS bersifat permanen. Harapannya TPS berubah bisa dikurangi,” ujar Viryan.
Terkait pemutakhiran data pemilih di era physical distancing, Viryan mengatakan KPU telah mendapatkan data Daftar Penduduk Pemilih Potensial Pemilu (DP4) dari pemerintah sebanyak 105 juta. Sedangkan data KPU dari 270 daerah yang melaksanakan pilkada ada 101 juta. Dalam UU 10/2016, basis pemutakhiran data pemilih adalah Daftar Pemilih Tetap (DPT) pemilu terakhir.
Berdasarkan data usai Pemilu 2019 dengan segala kekurangannya, terlihat selisih data antara DPT (2019) dengan DP4 itu kurang lebih 4-5 persen. "Ssejak November 2019, KPU RI sudah menggaungkan kepada KPU daerah agar melakukan pemetaan pemilih sejak dini," kata Viryan.
Khusus daerah-daerah yang melakukan pilkada, sejak November telah dilakukan pengecekan data dan pembersihan data yang substansinya adalah penyelenggara pemilu di daerah harus menguasai data yang ada dalam dirinya, yang ada di KPU.
“Bila perlu sampai detil, kami minta per desa/kelurahan dianalisis, berapa yang TMS, berapa DPK yang kemarin belum masuk layak dimasukkan, berapa DPK yang tidak bisa dimasukkan. Itu sejak November kami minta,” ujar dia.
KPU juga memperhatikan tentang adanya potensi ketidaksesuaian data apabila datanya diambil hanya dari orang-orang RT/RW, tidak turun langsung seperti kasus-kasus sebelumnya. Sebelumnya pernah terjadimalpraktikPanitia Pemutakhiran Daftar Pemilih (Pantarlih) per TPS karena tidak bekerja secara 'door to door'.
Hal itu terjadi karena Pantarlih bekerja per TPS. Karena satu TPS bisa terdiri dari dua sampai lima RT, sejumlah Pantarlih tidak bisa bekerja dengan baik karena dia harus bergerak dari RT ke RT.
Untuk itu, menurut Viryan, KPU akan menguatkan Pantarlihsehingga tidak lagi per TPSnamun per RT. Dengan adanya instrumen ini, Viryan berpendapat, pencocokan dan penelitian data pemilih sebetulnya memungkinkan dilakukan meski tidak harus mendatangi warga satu persatu.
Viryan mengatakan memang jumlah Pantarlih akan jauh lebih banyak dan karena kegiatan coklitnya dalam lingkup RT. Namun kontak langsung dapat diminimalisir serta dimungkinkan Pantarlih berbasis RT tersebut tidak datang dari rumah ke rumah, karena sudah tahu siapa saja pemilih yang berada di wilayahnya.
“Beda kalau dia per TPS, dia harus berkunjung ke satu RT, kemudian dia ke RT lain. Dengan demikian lebih detil, apabila RT/RW tersebut akan dijadikan petugas KPPS. Sehingga kalau nanti ada masalah, RT/RW lah yang bertanggung jawab. Karena dia sudah melakukan pemutakhiran data pemilih. Desain ini yang coba dibangun KPU RI dalam PKPU,” ujar Viryan.
Secara bersamaan, bila para pihak terkait setuju dengan desain yang dirancang KPU tersebut, para pihak terkait dapat memangkas anggaran dengan melakukan kampanye secara manual menjadi pendekatan daring. “Meskipun dalam UU diatur kampanye secara manual bisa kita pangkas, digeser jadi pendekatan daring, ini sangat signifikan mengurangi anggaran kita,” ujar dia.
Mau tidak mau, dengan asumsi data pada Pemilu serentak 2019 kemarin, dengan datanya sudah 95 persen, coklit dengan RT/RW semestinya bisa terlaksana dengan baik.