REPUBLIKA.CO.ID, oleh Rahayu Subekti, Antara
Ketua Gugus Tugas Percepatan Penanganan Covid-19 Doni Monardo mengatakan akan mengkaji terkait potensi terjadinya arus balik, bagi warga yang sudah terlanjur pulang ke kampung halaman. "Arus balik akan kami bicarakan dengan gugus tugas di tingkat provinsi sehingga teknisnya tepat, kata Doni Monardo dalam konferensi pers melalui video, di Jakarta, Senin (18/5).
Doni mengatakan penanganan arus balik perlu dikaji agar daerah yang steril atau yang telah berkurang paparan virusnya, tetap bisa terjaga dan terlindungi. "Kita tidak ingin setelah Lebaran perpindahan masyarakat dari daerah ke daerah lain menimbulkan masalah baru ke daerah yang telah berkurang kasusnya," jelas dia.
Doni juga menyampaikan hingga saat ini belum ada pelonggaran terhadap pembatasan sosial berskala besar (PSBB). Dia mengajak seluruh masyarakat meningkatkan kesadaran bahwa kegiatan yang menimbulkan kerumunan akan sangat membahayakan diri dan orang sekitar.
Dokter paru-paru Rumah Sakit Persahabatan dr Andika Chandra Putra mengatakan alasannya mengapa masyarakat harus menaati larangan mudik. Ia menyampaikan imbauan tersebut karena masih banyak orang yang mencari jalur mudik alternatif demi sampai ke kampung halaman meski telah ada larangan mudik.
Selain untuk bersilaturahim, ia meyakini alasan mudik tersebut juga disebabkan himpitan ekonomi. Namun demikian, ia tetap mengimbau masyarakat untuk bersabar menaati larangan mudik agar tidak terjadi penularan virus SARS-CoV-2, penyebab wabah Covid-19, lebih luas lagi.
"Biarlah kita bersakit-sakit terlebih dahulu. Daripada kita bersakit-sakit dalam jangka waktu yang lama," katanya.
Ia mengatakan, setiap orang yang mudik, terutama orang tanpa gejala (OTG), sangat berisiko membawa virus ke kampung halaman dan menularkan virus tersebut kepada anggota keluarga maupun masyarakat di sekitarnya tanpa sepengetahuan orang tersebut. "Walaupun kita tidak merasa sakit, tapi kita sudah sangat berisiko membawa virus itu karena seluruh Indonesia, terutama Jakarta, sudah menjadi daerah episentrum sehingga kita berisiko menulari keluarga," katanya.
Ia percaya tujuan mudik adalah berbagi kebahagiaan dengan keluarga di kampung halaman. Untuk itu, ia mengingatkan jangan sampai tujuan mulia itu menjadi rusak karena kepulangan seseorang yang justru membawa petaka bagi keluarga mereka.
"(Dengan bersikeras mudik) tujuannya bukan untuk kebaikan, malah jadi mencelakai keluarga di kampung," katanya.
Seseorang, menurut dia, tidak bisa memastikan dirinya terbebas dari Covid-19 atau tidak hingga dia melakukan pemeriksaan swab. Pemeriksaan swab, menurut dia, memiliki sensitivitas-sensitivitas tertentu yang memungkinkan seseorang yang positif lolos dari diagnosis terkena Covid-19. "Artinya ada kemungkinan lolos atau false negative pun ada," katanya.
Kemudian, hasil negatif juga tidak menjamin seseorang akan selamanya terbebas dari virus karena perjalanan mudik, yang sangat memungkinkan kontak fisik dengan orang lain, memperbesar risiko penularan Covid-19. Oleh karena itu, ia mengimbau masyarakat bersabar dan menahan diri untuk tidak mudik ke kampung halaman demi membatasi penularan.
Pengamat kebijakan publik Agus Pambagyo menilai karakter orang Indonesia sulit diimbau untuk tidak mudik. Apalagi, kegiatan setahun sekali itu sudah menjadi tradisi sehingga untuk mencegah penyebaran Covid-19 seharusnya mudik dilarang.
“Urusan imbau-mengimbau itu tidak ada di peraturan. Kalau mengimbau tidak perlu diatur, lepas saja. Orang Indonesia harus dikenakan sanksi,” kata Agus, beberapa waktu lalu.
Dia menjelaskan, apabila mudik tidak dilarang, imbasnya ke pemerintah daerah. Hal tersebut bisa menimbulkan kerusuhan sosial (social unrest) apabila pemerintah tidak mengambil tindakan pada saat ini. Ia meminta pemerintah tegas mengatur larangan mudik.
Direktur Institute For Demographic and Poverty Studies (Ideas) Yusuf Wibisono menilai pelonggaran PSBB yang berpotensi membuat masyarakat mudik merupakan langkah mundur yang berbahaya dalam penanggulangan pandemi virus corona atau Covid-19. Dia menuturkan hal tersebut akan menjadi ancaman bahaya bagi Indonesia.
Dia mengatakan, upaya keras dan biaya besar yang telah dikeluarkan dalam menanggulangi pandemi selama dia bulan terakhir dapat menjadi sia-sia. "Bila dengan PSBB saja kenaikan kasus infeksi Covid-19 masih belum mereda, seharusnya langkah yang ditempuh pemerintah adalah melakukan kebijakan yang lebih tegas dari PSBB, bukan justru melonggarkannya,” kata Yusuf, Senin (18/5).
Yusuf menambahkan, dua kebijakan pengendalian terkini yang paling diandalkan yakni PSBB dan larangan mudik. Hanya saja hal tersebut menuai kekecewaan banyak pihak karena intervensi yang moderat dan masih dilakukan secara lamban, setengah hati, serta tidak terkoordinasi.
Sebagai negara keempat dengan populasi terbesar di dunia, Yusuf menilai pandemi Covid-19 yang tak terkendali akan mengancam jutaan nyawa anak negeri, sekaligus menciptakan ketidakpastian regional dan bahkan global. Terlebih, dia mengatakan setelah keluarnya data pertumbuhan ekonomi kuartal pertama 2020 yang hanya 2,97 persen dari target 4,30 persen, wacana pelonggaran PSBB oleh pemerintah bergulir deras.
Setelah wacana berdamai dengan Covid-19 oleh Presiden Joko Widodo pada 7 Mei 2020, berbagai langkah relaksasi dikeluarkan pemerintah. Yusuf mengatakan relaksasi dilakukan mulai dari beroperasinya kembali moda transportasi umum, pekerja di bawah 45 tahun boleh kembali bekerja, hingga pelonggaran larangan mudik.
“Jika penyebaran Covid-19 menjadi tidak terkendali dan semakin banyak masyarakat yang terinfeksi dalam waktu singkat, sistem kesehatan dipastikan akan tumbang sehingga korban jiwa bisa menjadi sangat besar. Dalam situasi pandemi, respons kebijakan harus cepat dan tegas, dengan tujuan utama menyelamatkan nyawa sebanyak mungkin,” tutur Yusuf.
Pelonggaran larangan mudik disaat Idul Fitri 2020 yang hanya tinggal menghitung hari justru sangat berisiko. "Berdasakan hasil simulasi Ideas, potensi pemudik seluruh Indonesia tahun ini mencapai 39 juta orang, baik mudik jarak dekat maupun jarak jauh. Tanpa larangan yang tegas, mudik berpotensi mendorong eskalasi wabah," ungkap Yusuf.
Dia menegaskan, potensi eskalasi penyebaran Covid-19 ke penjuru negeri didorong oleh pola mudik jarak jauh yang kuat ditemui di Jabodetabek, Yogyakarta Raya, Pekanbaru Raya, Batam Raya, dan Samarinda Raya. Potensi eskalasi penyebaran wabah dari daerah perkotaan ke daerah pedesaan didorong menurutnya juga bisa terjadi karena pola mudik jarak dekat yang sangat kuat terlihat di Surabaya Raya, Malang Raya, dan Medan Raya.
Yusuf justru melihat setidaknya terdapat tiga kelemahan implementasi pelarangan mudik. Pertama, kata dia, masih dimungkinkannya mudik antar wilayah non PSBB dan non zona merah. "Ini termasuk sebagian wilayah di Jawa. Skenario lebih rumit terjadi ketika pemudik dari daerah PSBB dan zona merah tergoda untuk mudik ke daerah non PSBB dan non zona merah, dan sebaliknya, pemudik dari daerah non PSBB dan non zona merah berkeras untuk mudik ke daerah PSBB dan zona merah," ungkap Yusuf.
Kedua uaitu larangan mudik dikecualikan untuk sarana transportasi darat yang berada dalam satu wilayah aglomerasi. Ketentuan ini berimplikasi diperbolehkannya mudik intra wilayah aglomerasi. Padahal, lnjut Yusuf, potensi mudik intra wilayah aglomerasi tidaklah kecil.
Ketiga yakni Kereta Rel Listrik (KRL) Jabodetabek yang tetap beroperasi meski diberlakukan pengaturan PSBB. Sebagai transportasi massal utama di Jabodetabek, Yusuf mengatakan operasional KRL sangat signifikan dalam penyebaran Covid-19 karena tidak efektif memutus rantai penularan.
“Jelang puncak mudik, alih-alih dilonggarkan, larangan mudik seharusnya semakin dipertegas, agar memperkuat pelaksanaan PSBB terutama di Jabodetabek, Bandung Raya dan Surabaya Raya, serta metropolitan luar Jawa seperti Medan, Padang dan Makassar," ungkap Yusuf.