Senin 18 May 2020 18:25 WIB

Normal Baru Jokowi Dikhawatirkan Langgar HAM

Pelanggaran HAM berpotensi terjadi jika kebijakan diambil tidak didasarkan pada data.

Rep: Nawir Arsyad Akbar/ Red: Ratna Puspita
[Ilustrasi] Pengunjung beraktivitas di Kota Tua, Jakarta, Ahad (17/5/2020). Pernyataan Presiden Joko Widodo (Jokowi) mengatakan masyarakat agar bisa hidup berdampingan dengan virus corona menuai kritikan.
Foto: ANTARA/Aprillio Akbar
[Ilustrasi] Pengunjung beraktivitas di Kota Tua, Jakarta, Ahad (17/5/2020). Pernyataan Presiden Joko Widodo (Jokowi) mengatakan masyarakat agar bisa hidup berdampingan dengan virus corona menuai kritikan.

REPUBLIKA.CO.ID, JAKARTA -- Koalisi Masyarakat Sipil mengkhawatir jika kebijakan normal baru yang dilontarkan Presiden Joko Widodo (Jokowi) terealisiasi bakal melanggar hak asasi manusia (HAM). Pelanggaran HAM berpotensi terjadi jika kebijakan diambil tidak didasarkan pada data dan rasional kesehatan publik, serta hanya berlandaskan kepentingan politik sebagai pertimbangan utama.

"Pelanggaran HAM by commission dan karenanya akibat yang menyertai kebijakan adalah menjadi tanggung jawab pemerintah sebagai pembuat kebijakan," ujar Ketua Bidang Advokasi Yayasan Lembaga Bantuan Hukum Indonesia (YLBHI), Muhammad Isnur, Senin (18/5).

Baca Juga

Isnur yang merupakan anggota Koalisi Masyarakat Sipil menilai, pemerintah sengaja menonjolkan survei dan kebijakan negara lain terkait pelonggaran pembatasan sosial. Hal itu dilakukan guna memuluskan normal baru agar terealisasi.

Ia menilai hal itu sebagai sesat pikir yang disengaja untuk menggiring opini warga, agar setuju untuk membuka pembatasan sosial. Padahal, kasus positif virus Covid-19 belum menunjukkan penurunan yang signifikan.

"Perbandingan pastilah harus yang setara atau ekuivalen misal tidak mungkin membandingkan rasa lezat kari kambing dengan buah mangga," ujar Isnur.

Selain itu, jumlah tes Covid-19 yang dilakukan Indonesia masih di bawah rata-rata negara Asia Tenggara lainnya. Berbeda dengan Singapura yang sebanyak 30.000 per satu juta penduduk dan Malaysia yang mencapai 7.500 per 1 juta penduduk.

"Keputusan untuk melonggarkan tanpa tes yang cukup sama saja menambah beban bagi kapasitas medis lokal maupun pusat," ujar Isnur.

Pemerintah juga perlu memperhatikan juga bahwa PSBB di berbagai daerah sangat bervariasi tingkat kedisiplinannya. Salah satu contohnya, DKI Jakarta yang sudah mulai lebih dulu, sementara Jawa Barat dan Gorontalo baru di kemudian hari.

Tak jelasnya kebijakan transportasi publik turut memberi andil akan perbedaan kualitas PSBB di berbagai daerah. Sebab, itu berpotensi menyebarkan virus Covid-19 ke berbagai daerah.

"Oleh karena itu, menyamakan situasi Indonesia dengan negara-negara lain yang sudah jauh lebih dulu menerapkan PSBB dengan disiplin sangatlah di luar akal sehat," ujar Isnur.

Koalisi Masyarakat Sipil pun tegas menolak pelonggaran PSBB. Serta, mendesak Pemerintah untuk tetap melakukan tes masif dan pelacakan yang agresif. "Sembari meningkatkan dukungan sosial ekonomi bagi warga yang terdampak Covid-19," ujar Isnur.

Sebelumnya, Presiden Joko Widodo (Jokowi) mengatakan masyarakat harus bisa hidup berdampingan dengan virus corona. Sebab, berdasarkan informasi dari WHO, virus ini tak akan hilang meskipun jumlah kasus sudah mulai menurun.

Tahapan baru inilah yang disebutnya sebagai new normal atau tatanan kehidupan baru. Masyarakat nantinya dapat kembali beraktivitas normal dengan menerapkan protokol kesehatan secara ketat. "Kehidupan kita sudah pasti berubah untuk mengatasi risiko wabah ini. Itu keniscayaan, itulah yang oleh banyak orang disebut sebagai new normal. Atau tatanan kehidupan baru," jelas dia.

BACA JUGA: Update Berita-Berita Politik Perspektif Republika.co.id, Klik di Sini
Advertisement
Berita Lainnya
Advertisement
Terpopuler
1
Advertisement
Advertisement